Sore itu di dalam angkot ...
Jodha sangat menyesali perbuatannya ke Surya. Entah mengapa ketika melihat Jallal menghampirinya tadi, tiba-tiba ada semacam kemarahan yang tertahan di dadanya. Jodha merasa jijik begitu melihat Jallal yang telah menganggapnya sebagai wanita murahan.
Meskipun kemudian laki-laki itu menyadari bahwa semua itu hanyalah salah paham belaka, tapi hati kecil Jodha tetap belum bisa menerimanya 100%. Saat itu rasanya Jodha ingin sekali menumpahkan semua kemarahannya, agar semua orang tau bahwa dirinya sedang kesal dan semua ini karena Jallad!
Jodha lalu menghentikan angkot yang ditumpanginya dan segera keluar dari sana setelah membayar, saat itu hujan gerimis mulai turun. Jodha segera berlari-lari kecil ke halte bis yang ada di depannya.
"Huuffttt ... sialnya diriku, mana hari sudah hampir malam, hujan lagi!"
Jodha menggerutu dalam hati, tapi kemudian dirinya teringat sama Moti, sahabatnya, yang selalu siap membantunya dimana saja. Segera diambilnya ponsel kesayangannya di tas dan dipilihnya nama Moti dan setengah jam kemudian Moti sudah ada di depannya.Jodha meminta Moti untuk mengantarnya ke bengkel motor, untuk mengambil motor yang sedang diservice di sana. Baru setengah perjalanan menuju ke bengkel motor, hujan turun semakin deras, Jodha dan Moti akhirnya memilih sebuah café terdekat untuk tempat mereka berteduh sementara,
Setelah memesan dua cup caffe latte plus sepotong macaroni schotel ukuran medium, Jodha lalu menghempaskan dirinya di kursi besar dan empuk yang dekat dengan jendela.
"Kamu tau Mo, hari ini rasanya hari terburuk buat aku!" rutuk Jodha kesal.
"Sabar Jo ... sabar, terus kamu udah nyoba hubungin Surya?"
"Belum ...!" sahut Jodha sambil menggelengkan kepala. "Tapi dia miskol terus dari tadi ..."
"Trus nggak kamu angkat?" Jodha hanya menggelengkan kepala lagi.
"Aku lagi nggak pengin ngomong sama dia, Mo ..."
"Tapi masalahnya, Jo ... bentar lagi cowokmu itu bakal going abroad! Kamu sendiri belum kasih jawaban kan untuk lamarannya!" Saat itu pelayan datang menghampiri dan membawa pesanan untuk mereka.
"Terima kasih!" ujar mereka berbarengan.
"Kamu kan paling jago bikin macaroni schotel, kenapa harus beli sih?"
"Aku laper, aku stress ... jadi bawaannya pengin makaaaan mulu ... ayoo makan!"
"Trus apa jawabanmu ke Surya nanti?" tanya Moti lagi sambil menikmati potongan macaroni schotel yang diberikan Jodha.
"Itulah Mo ... aku bingung. Jujur aku belum siap untuk menjadi seorang istri, aku masih ingin bebas, yaa ... seperti ini ... aku bisa ngelakuin apa aja yang aku mau, tapi kayaknya dia berharap banyak dari aku, aku harus gimana Moti ...? Apalagi tadi aku ngebentak dia, bodoh banget diriku ini!"
"Nih! Telfon dia! Minta maaf sama dia se - ka - rang, nggak pake nanti nanti ... buruan ...!" perintah Moti seketika itu juga sambil menyodorkan ponsel milik Jodha ke arah si empunya.
Melihat kesungguhan sahabat dekatnya, Jodha memilih nama Surya di ponselnya dan seketika itu juga suara lembut Surya mulai terdengar di ujung sana. Rasanya bagaikan es yang mencair begitu Jodha mendengar suara bariton Surya yang selalu membuatnya merasa tenang dan nyaman.
"Jodha, kamu dimana? Kamu nggak papa kan?"
Jodha berdiri dari kursinya dan menjauh dari Moti. Ketika Jodha lagi asyik ngobrol sama Surya melalui ponselnya. Moti mencoba menikmati lantunan lagu dari penyanyi café yang menghibur mereka malam itu dengan gitar tuanya. Moti jadi teringat ketika dulu Jodha pernah ingin melamar jadi penyanyi di café ini gara-gara penyanyi tersebut.
♥♥♥♥♥♥♥
"Aku pengin kayak dia, Mo ..."
"Maksudmu nyanyi di cafe ini dengan gitar bututmu itu?"
"Iyaa ... keren kan? Aku bisa nyanyi sambil main gitar, tinggal latihan dikit, aku bisa tampil, aku yakin aku bakal diterima!"
"Iya siiih ... yakin sih yakin, tapi apa kabar dengan pekerjaanmu yang seabrek? Seminggu tiga kali bahkan lebih kamu kudu latihan koreo, belum lagi kuliahmu, Inkaimu, lalu mau nyanyi di café? Hellooo ... kapan kamu mau bersenang senang? Kapan pacarannya? Lagian apa Surya nggak protes?"
♥♥♥♥♥♥♥
Sesaat Moti tertawa kecil ketika teringat kejadian itu, memang diakuinya sahabat dekatnya yang dikenalnya sejak SMP ini tidak pernah bisa diam, ada saja yang dikerjakannya. Apalagi setelah ayahnya mengajukan pensiun dini dari pekerjaannya di perusahaan BUMN gara-gara penyakit stroke yang dideritanya ketika Jodha masih duduk di bangku SMA.
KAMU SEDANG MEMBACA
INTUISI
RomanceKadang sebuah intuisi atau kata hati mengantarkan kita pada sebuah kebenaran yang hakiki, lalu bagaimana intuisi Jodha ketika dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama berat? semuanya terjawab dalam Intuisi!