3 - Survive

507 47 3
                                    

Seminggu setelah kepergian ibunya, Nara memutuskan untuk meneruskan usaha berjualan kue sebagai mata pencahariannya yang baru. Hanya itulah yang bisa ia kerjakan sekarang ini. Ia tak boleh berlarut-larut dalam duka. Perutnya dan perut kedua adiknya harus terus diisi. Masa depan mereka masih panjang. Nara harus sanggup bertahan hidup demi kedua adiknya yang masih bersekolah.

Suasana pagi itu di meja makan terasa begitu hening tak seperti biasanya. Kursi makan yang biasa diduduki ibunya seperti kehilangan tuannya. Nara melihatnya sedih.

Ia mencoba mengalihkan pikiran sedihnya. Ditatanya kembali piring-piring di meja makan. Mereka sarapan dengan lauk seadanya seperti biasa. Untunglah stok beras mereka banyak hasil sumbangan warga yang melayat beberapa hari lalu. Padahal biasanya stok beras mereka selalu pas-pasan. Namun, hal itu justru membuat hati mereka miris.

"Makannya dihabiskan ya!" seru Nara. Ia sendiri sudah menghabiskan sarapannya.

Dipandanginya kedua adik kecilnya dengan perasaan sedih. Mereka masih polos dan belum mengerti banyak hal. Terutama adik bungsunya Kinan yang masih SD. Ia belum banyak merasakan kasih sayang ibu dan ayahnya. Namun anehnya sejak kepergian ibunya, ia tak pernah merajuk lagi seperti biasa.

"Dimas, nanti Mba titip uang buat bayaran SPP kamu ya. Tapi maaf Mba cuma bisa kasih untuk 2 bulan. Uangnya terpakai buat biaya pemakaman ibu," ungkapnya di sela-sela waktu sarapan.

Dimas hanya menganggukkan kepala. Ia terus makan tanpa banyak bicara seperti biasanya. Rasa sedih datang lagi. Sebentar lagi anak itu akan ujian akhir semester 2. Biasanya setelah itu akan ada study tour di sekolahnya. Sudah dipastikan Dimas akan merajuk minta diikutsertakan karena sebelumnya sejak kelas 1 ia tak pernah ikut study tour sama sekali mengingat biayanya yang lumayan besar baginya. Untuk kali ini Nara belum tahu apakah Dimas akan merayunya lagi atau tidak.

Adik lelakinya baru saja selesai makan. Ia bangkit dan masuk ke kamar mengambil tas sekolahnya yang mulai usang. Disusul oleh Kinan. Ia sendiri merapihkan piring-piring kotor dan meja makan.

Sebelum Dimas pamit pergi ke sekolah, Nara memberikan uang SPP yang ia janjikan berikut uang sakunya. Kinan pun diberikan uang saku yang tak seberapa. Setelah itu mereka benar-benar pergi ke sekolah masing-masing. Dimas naik angkutan umum. Sementara Kinan hanya berjalan kaki. Lokasi SD-nya tak jauh dari rumah.

Nara menatap nanar kepergian mereka berdua. Sejak beberapa hari yang lalu ia belum melihat mereka tertawa. Bahkan Kinan yang memang lebih pendiam pun kini semakin irit bicara.

Tak mau sedih terlalu lama di pagi itu, Nara bersiap-siap membawa dagangan kuenya. Ia memulai dengan bismillah. Berharap dagangannya laku dan meraup keuntungan lebih agar ia bisa menabung.

"Kue... kue... kuenya Bu ...," teriaknya kencang di jalanan. Ia berjualan di kompleks perumahan sekitar tempat tinggalnya terlebih dahulu. Setelah itu mulai berjualan ke arah pusat kota.

Setiap jengkal tanah ia lewati. Hawa panas tak membuatnya goyah. Peluh terus membasahi rambut dan pelipisnya. Sesekali ia menyekanya. Tapi buliran air keringat itu menetes lagi tanpa henti.

Ketika jam makan siang tiba ia memilih untuk beristirahat di antara para pedagang kaki lima di pinggir jalan sekitar perkantoran. Biasanya banyak para pekerja yang makan di sana. Berharap mereka mau membeli kue-kuenya yang belum laku banyak.

Namun sayangnya hingga jam makan siang habis hanya ada beberapa pembeli yang tertarik dengan dagangannya. Nara menghela napas kecewa. Ia kembali beranjak pergi ke tempat lain.

Matahari mulai condong ke ufuk barat. Langit mulai terasa sedikit teduh. Tak terasa ia sudah berjalan selama 9 jam. Kakinya mulai terasa pegal. Wajahnya pun terlihat lelah dan kusam. Penuh dengan debu dan kotoran jalanan. Nara mencoba tak mempedulikan itu. Dibawanya terus kaki itu melangkah ke tempat yang lebih ramai. Ia memilih untuk berhenti di sebuah taman kota.

Belenggu Kinara [ Sudah Terbit ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang