FOUR - VOW

289 34 14
                                    

.

.

.

"Kiss me and i'll let you go,"

Lucia tidak ingat dirinya sudah berapa lama berdiri kaku tanpa melakukan apapun selain bernapas dalam diamnya. Lebih tepatnya dia tidak bisa.

Perkataan mutlak dari pria asing jutaan akan kharisma tak terbantahkan yang ia lontarkan membuat tubuh Lucia mati fungsi. Pria yang sekarang menyekapnya kini, pasti tidak sedang berada di pikiran lurusnya. Lucia yakin akan hal itu. Buktinya, pria itu tersenyum seolah Lucia adalah mainan barunya yang ingin dia coba semaunya.

Lucia mematahkan ajang tatap menatapnya dengan pria itu dengan semakin memojokkan tubuhnya di daun pintu. Tanpa menghentikan tangannya membuka gagang pintu pintar yang dengan mudahnya terkunci hanya karena satu kata dari pria penculik itu. Oh, tidak. Lucia semakin takut.

"... Kumohon, jangan mempermainkan aku. Aku hanya ingin...!"

"Aku bahkan tidak memintamu untuk melakukan seks kepadaku."

Lucia menaikkan pandangannya secara kilat akibat ucapan pria itu. Yang benar saja pria itu?!

"Hmm, bagaimana?" Lucia melihat pria itu melenturkan gestur gaya rajanya, namun gestur terbaru pria itu lakukan membuat Lucia hampir dibuatnya menangis. Mimik wajah itu. Dingin. Dan tatapannya yang kentara sangat jenuh itu... Lucia merasakan dirinya akan menemui ajalnya.

"Baru kali ini, ada seorang yang berani melawan perkataanku. Harus aku apakan, kah, kau?"

TAP. TAP. TAP.

Ketukan dari pertemuan jemari kokoh pria itu di lengan sofa tunggalnya setiap bunyinya menyelaraskan detak jantung Lucia yang saat ini di ambang kesadaran saraf tubuhnya. Ketukan yang pria itu hasilkan semakin melambat, seolah menuntun dengan mutlak, kerja jantung Lucia tertipu dengan mengikuti ketukan itu.

Lucia kesulitan hanya untuk mengambil satu napas panjangnya, "... Baiklah."

Pria itu tersenyum kecil, sangat samar. "Kemarilah."

Lucia dengan sangat terpaksa, meninggalkan tempatnya. Membawanya ke satu pusaran alam semesta yang memaksanya untuk mendatangi pria itu. Pria itu tak memerlukan bantuan gravitasi yang telah semesta ciptakan, karena medan magnet yang pria itu hasilkan, cukup membuat Lucia kehilangan akal sehatnya dan semakin mendekati pria itu.

Lucia akhirnya sampai tepat di depan pria itu. Bila semakin Lucia dapat melihat dengan jelas pria di depannya ini, lucia tidak bisa membandingkan ketampanan para dewa yunani dengan pria asing itu. Setara, dan juga sangat lancang. Karena pria itu mendekati hampir sempurna, tanpa celah.

"Sit down."

Lucia menggigit bibirnya sangat kencang. Hatinya menyuruh pemilik tubuh ingin membantah pria itu, namun fungsi tubuhnya diambil alih dengan mudah oleh pria itu. Bahkan Lucia sudah tidak mengingat bagaimana caranya, dirinya sudah duduk manis di atas pangkuan kokoh penculiknya.

Tubuh Lucia bergetar saat merasakan jemari pria itu, menelusuri bingkai wajahnya dengan perlahan. Namun yang Lucia rasakan, seolah belati perak mengitari wajahnya saat ini. Yang entah suatu waktu dapat menembus kepala Lucia .

Perasaan yang sungguh mengerikan.

"Just one kiss, its not a big deal, young lady." ucapan pria itu membuat Lucia membuka kelopak matanya. Namun Lucia dibuatnya bingung.

Kedua mata pria asing itu tidak semenyeramkan sebelumnya. Warna iris mata pria itu hanya berwarna cokelat madu lembut yang hampir transparan. Warna mata alami yang dimiliki manusia normal biasanya. Mengapa bisa?

Rowan's WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang