Why did you stay?
If you didn't feel the same...
.
.
.
.
.
Tubuh berbalut gaun tidur berwarna putih tulang itu terlelap damai di sebuah ranjang. Kelopak mata dengan bulu lentik tersebut mengerjap saat seberkas cahaya mengintip malu-malu dari tirai jendela yang belum terbuka.Merasa terganggu, akhirnya gadis dengan tubuh mungil tersebut bangun dari tidurnya kemudian mengambil posisi bersandar pada kepala ranjang. Diraihnya kursi roda yang ada di sampingnya, kemudian dengan hati-hati memindahkan tubuhnya agar mampu menempati kursi dengan roda-roda tersebut.
Perlahan disingkapnya tirai yang melindungi jendela berteralis hingga menampakkan pemandangan sejuk pagi hari. Berhubung ini lantai 20, ia bisa melihat aktifitas warga di bawah sana, berlalu lalang dengan berjalan kaki baik itu ke sekolah maupun ke kantor. Beberapa juga ada yang sekadar berolahraga dengan berlari-lari kecil.
Sebuah elusan mendarat di surainya yang lembut. Disusul sebuah kecupan pada pipinya. Namun gadis itu tak bergeming sedikitpun. Seolah pemandangan di luar lebih menarik daripada meladeni seseorang yang bersamanya saat ini.
"Pagi," bisiknya sensual tepat ditelinga sang gadis. Kemudian memutar kursi roda itu agar berhadapan dengannya. Diambilnya kedua tangan sang gadis dan mendaratkan kecupan-kecupan ringan di sana.
"Tadi aku mencoba memasak. Tapi sedikit gosong. Jadi kupikir lebih baik kita membeli saja seperti kemarin-kemarin," tubuh ringan sang gadis yang semula berada di kursi roda, kini berada pada gendongan sang lelaki. Setelah itu diletakkannya kembali ke ranjang satu-satunya di ruangan ini.
Bibir merah kecoklatan itu membubuhkan kecupan-kecupan lembut di wajah sang gadis. kemudian turun menuju lehernya yang masih memiliki bercak merah kebiruan yang mulai memudar. Sesaat ia lupa tentang sarapan.
Sang gadis tidak mengeluarkan desahan sedikitpun saat si pria menggerayangi tubuhnya lebih lanjut. Hanya ekspresi datar yang tidak berarti.
"Ah, kau begitu menggoda hingga aku melupakan sarapan," ia terkekeh. "Aku memesan cinamon roll kesukaanmu. Kau pasti suka."
Tak berapa lama terdengar bunyi bell yang kemungkinan besar dari kurir yang mengantar pesanannya.
"Sebentar, ya."
Sepeninggal sang lelaki, perempuan itu kembali mengarahkan pandangannya pada jendela berteralis. Dilihatnya beberapa burung beterbangan bebas sambil menari dengan gembira, seolah mengoloknya yang hanya bisa berdiam diri di ruangan ini.
Kakinya tak berfungsi, begitu pula suaranya. Dirinya hidup tanpa adanya arah dan tujuan lagi. Bak boneka hidup yang hanya bisa bernafas.
Hatinya pun sudah kebas. Tak ada lagi perasaan yang disebut cinta hinggap di sana. Keterbiasaannya dengan luka seolah menjadikannya seorang tanpa perasaan.
Hampa
Meski itu bukan kehendaknya
Takdir kah?
Mengapa takdirnya harus seperti ini? Ia ingin dicintai, tapi tidak begini. Mengapa bahagia itu begitu susah dijemput? Apa memang ia tak pantas untuk merasakan kebahagiaan?
Setetes air bening mengalir di pipinya. Disusul dengan tetesan yang lain. Ia tak berusaha untuk menghalaunya. Meski tanpa isakan sedikitpun.
Meskipun ia berfikir hatinya telah mati, nyatanya ia masih bisa merasakan apa itu sakit yang teramat sangat.
"Sayang, lihat! Cinamon roll nya sudah siap. Aku akan menyu– astaga!"
Dengan tergesa sang lelaki meletakkan nampan berisi segelas susu dan beberapa makanan pada nakas di samping ranjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Know You Anymore
RandomPermainan takdir begitu sulit untuk difahami. Hari ini kita membenci, boleh jadi besok kita terobsesi. Hari ini kita tidak merasakan apa-apa, bisa saja esoknya tergila-gila. Lucu sekali, bukan? "Kau tidak bisa merebut kembali sesuatu yang telah kau...