1

20 3 1
                                    

'Pertemuan tidak abadi.
Karena perpisahan menanti.'

•L•O•N•E•

Kabut menutupi malam ini. Louie meletakkan dirinya dibawah balutan selimut yang tersedia di gudangnya itu.

Dia lelah. Namun tak dapat berkata.

Air matanya pun sudah menyerah.

Di waktu-waktunya seperti ini, ia terus berpikir 'Apa yang akan terjadi jalau dia tak pernah hadir di dunia?'

'Akankah target bully di sekolah berubah?'

'Akankah tetangga-tetangganya hidup lebih bahagia?'

'Akankah bibinya hidup tentram dengan paman?'

Louie memiliki traumanya tersendiri.

Seperti trauma dengan darah. Namun dia selalu melihat darah keluar dari pergelangan tangannya.

Menetes keluar. Lalu jatuh ke tanah. Dan di saat-saat seperti itu, Louie hanya dapat menahan rasa sakit sambil mengulang kalimat,

"Tidak sesakit itu Louie, kau sudah menjalani yang lebih parah. Ini bukan apa-apa."

Louie bahkan takut dengan bunyi tembakan. Apapun itu yang mirip dengan tembakan, pukulan meja, ketukan pintu.

"Aku benci"

Teman-teman di sekolahnya selalu memain-mainkannya. Sekolah itu adalah neraka bagi Louie.

Mereka bahkan tidak tahu yang dialami Louie dan langsung menghakimi seenak mereka.

'Maksudku, apa untungnya membully orang sepertiku?'

'Seseru itukah?'

Louie hanya bertanya-tanya. Tidak dapat bertindak. Hanya diam.

Kerap kali Louie menangis di bilik toilet. Namun hasilnya, dia malah disiram dengan air bekas pel oleh geng cewek-cewek di kelasnya.

Ditertawakan, dipermainkan, lalu ditinggalkan.

Louie hanya dapat membersihkan dirinya di dalam bilik toilet. Mencoba mengeringkan dirinya.

Louie bahkan tidak bisa menangis lagi.

Dia terlalu lelah menerima semua ini.

1 kalimat terukir di hatinya.

'Mom, dad. Come back.'

***
Louie kembali ke kelasnya, dalam keadaan setengah basah.

Seperti biasa, ada yang menertawakannya, ada yang berbisik-bisik dengan keberadaannya, bahkan ada yang terkadang langsung mengatainya tepat didepan wajahnya.

'Masih berani nunjukkin muka.'

'Kalau jadi dia udah bunuh diri gue.'

'Apa-apaan dia gila. Bau banget. Ga mandi apa sih?'

'Dia bisu? Gapernah ngomong'

Kata-kata yang selalu menusuk Louie, sekarang hanya berupa angin lalu.

Perasaan Louie sudah hampir mati sepenuhnya. Dia tak merasakan apa-apa.

Louie, dia cukup cantik jika dilihat-lihat. Namun dia tak pernah mengurus wajah maupun rambutnya.

Membuatnya terlihat seperti tidak pernah mencuci rambut panjangnya itu.

Jelas, hal itu pun menjadi bahan bully baginya.

Tapi dia terlalu lelah mengurus dirinya. Dia pun tidak punya tenaga lagi bertahan dari semua ini.

Hingga akhirnya cowok itu, secara tiba-tiba mendatangi Louie.

Raphael, paling tidak itulah namanya seingat Louie.

***
Raphael, dia sangat ceria. Selalu muncul dengan senyum di wajahnya. Melambaikan tangan ke semua orang yang ditemui.

Andaikan Louie seperti itu.

Namun tidak.

Hati Louie sudah sepenuhnya tertutup dari dunia luar.

Semenjak kedatangan Raphael ke hidupnya.

Kehidupan Louie menjadi lebih gelap namun di saat yang bersamaan menjadi lebih berwarna.

Dia di bully habis-habisan dan mengetahui cukup banyak tentang Raphael setiap kali dia di Bully.

Raphael adalah anak terpintar di sekolah. Wajahnya pun dapat dibilang di atas rata-rata. Walaupun Louie tak tertarik sama sekali.

Gadis-gadis geng yang sering berkumpul mencaci maki Louie sering mengatakan sesuatu tentang menjauhi Raphael.

Namun sekali lagi, dia tak peduli.

Toh, bukan Louie yang mendekati cowok itu. Jika ada siapapun yang seharusnya disuruh menjauh, itu adalah Raphael.

Louie adalah anak yang dapat dibilang cukup berbakat dalam hal observasi dan pemahaman. Jadi, Louie akan segera mengetahui hal-hal yang menurutnya janggal.

Raphael, dengan senyum dan tawa itu setiap hari. Orang biasa akan melihatnya sebagai orang yang ceria.

Di mata Louie, Raphael hanyalah seorang anak yang kesepian dan dalam perjalanannya mencari teman sejati.

Kekanak-kanakan sekali.

Hidup tenang Louie dengan mudahnya dihancurkan oleh orang itu.

"Siang Louitta"

"Bahkan orang buta sekalipun tau kalau ini siang"

"Kejam seperti biasa"

"Apa maumu? Cepat katakan dan pergilah dari hadapanku"

"Hei hei hei, bagaimanapun juga aku ini datang dengan niat baik"

"Jadi? Apa peduliku?"

"Oh ayolah, mau ke kantin? Kutraktir"

Mendengar kata "traktir" membuat Louie terbelalak. Dia belum makan malam dan sarapan dari kemarin.

Namun dimana harga dirinya akan diletakkan jika ia menurut dan pergi dengan Raphael.

Jadi, seperti Louie yang biasa.

"Pergilah sendiri, aku tidak lapar"

"Kumohon padamu Louitta Mazene"

"Kau terlalu kesepian, kau tau itu?"

"Ya, aku kesepian. Kau benar. Oleh karena itu, ikutlah aku."

"Gue bilang nggak"

"Ada apa dengan pergantian aku-kamu milikmu?"

"Bukan urusanmu"

"Oke oke aku mengerti. Kau ingin berbicara santai denganku kan?"

"Jangan melantur"

"Mari berteman"

"Hah?"

"Um.. Mari berteman..?"

"Ga"

"Kenapa?"

"Karena lo hidup di kasta atas. Temenan sama gue yang kasta bawah bakal ngancurin reputasi yang udah repot lo buat"

"Kalau gitu... Mau tinggal denganku?"

*BRAK*

Louie memukul mejanya keras.

"Omong kosong!"

Lalu meninggalkan kelasnya dan Raphael yang sedang diperhatikan murid sekelasnya di dalam.

'Sialan'

Bersambung...

LoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang