Four

1.6K 240 225
                                    

Dara mengerjapkan mata saat dirasa seseorang tengah mengetuk kamar kosnya dengan begitu tidak sabarnya. Gadis itu memperhatikan penanda waktu yang menempel di salah satu sisi dindingnya. Pukul sembilan. Ia lantas merenggangkan badannya, mengumpulkan sisa-sisa nyawanya. Pukul berapa ia tidur semalam? Semalam? Sepertinya bukan malam lagi. Jika ia tidak salah ingat, ia baru mendapatkan tidurnya sekitar subuh tadi.

"astaga... Andarla Bachtiar. Lo kenapa?" pekik gadis bermata kucing dari balik pintu kamarnya. Terlihat begitu kaget memperhatikan penampilan acak-acakan Dara yang tampak lebih kacau dari biasanya. Matanya ganti mengedar memperhatikan kamar Dara yang tidak jauh mengenaskannya dengan bungkus Pop Mie di sana sini. Jangan lupangan sisa-sisa makanan ringan berikut dengan remahannya yang tercecer hampir di seluruh sudut kamarnya. Gina bahkan tidak dapat melihat dimana gadis itu memijakkan kakinya. Hanya ada setumpuk sampah dan barisan semut yang berjalan teratur membersihkan kekacauan Andara. Dari tempatnya Gina dapat melihat seekor kecoa yang hinggap di atas wadah kopi Starbucks yang entah sudah berapa lama tergeletak di sana. Bau busuk yang menguar dari tubuh gadis ini bahkan jauh lebih parah dari keadaan kamarnya.

"sumpah ya Ra. Lo itu kenapa sih? Bisa-bisanya kamar lo berantakan kayak gini. Astaga lo kapan terakhir mandi?"

Yang ditanya hanya menggaruk kepala. Tidak dapat mengingat kapan tepatnya. Ia bahkan tidak tahu bagaimana kamarnya dapat terlihat lebih buruk dari penampakan kapal pecah yang terbelah dua sekalipun. Ia lupa bagaimana ia menjalani hari-harinya belakangan ini. Jika tidak salah ...

"sumpah. Seharusnya sejak minggu lalu begitu tahu lo pulang dalam keadaan nangis-nangis itu gue langsung nyamperin lo ke sini, bukannya nunggu besok-besok sampe gue lupa sendiri."

Ah... iya. Seminggu lalu. Dara hanya tersenyum miris mengingatnya.

Satu minggu lalu, setelah mendengar cerita lengkap laki-laki yang memeluknya itu, Dara tidak dapat lagi mengendalikan emosinya. Yang ia lakukan hanya membuat adegan drama berlari ke luar rumah dan pulang ke kamar kosnya. Ia bahkan tidak membawa serta barang-barangnya, pun mengindahkan seruan Noah yang berteriak memanggil namanya. Ia bahkan tidak sadar Rafa sempat mengejarnya dan mengantarkannya pulang.

Ia tidak tahu. Pikirannya sangat kacau saat itu. Setelahnya yang ia lakukan hanya terjaga hingga dini hari, dan tertidur pagi-pagi. Begitu seterusnya hingga sampah-sampah ini sudah memenuhi kamarnya. Begitupun dengan kondisi tubuhnya. Ia bahkan masih memakai kaos hitam besar milik Rafa yang terakhir kali ia kenakan di sana. Sialan.

Dara tampak sedikit lebih segar setelah menyelesaikan acara mandinya selama hampir satu jam. Sambil mengingat-ingat ujaran Rafa yang membuatnya sesak lalu berakhir menangis di bawah guyuran air keran. Seharusnya ia sudah bisa menebak ini sedari awal. Bukannya ia seharusnya curiga ketika Noah tidak sekali dua kali jika sedang ingin bermanja-manjaan dengannya akan menyebutnya mamih? Astaga... seharusnya Dara dapat lebih baik lagi dalam menggunakan otaknya.

Ia ingin memaki Rafa yang tidak bisa move on dari mendiang istrinya. Namun ia juga tahu ia bukan siapa-siapa. Perempuan itu, perempuan yang begitu mirip dengannya, adalah seseorang yang mengandung putranya. Seseorang yang telah mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan Noah. Sedangkan dia? Dia tidak lebih dari seorang pengasuh tidak tahu diri yang mengharapkan seseorang yang tidak pasti.

"sebenernya lo kenapa sih, Ra?" sekali lagi Gina mengulangi pertanyaannya sambil membersihkan remahan makanan yang tertinggal beberapa. Sebenarnya ia datang untuk marah-marah, namun melihat kamar Dara yang tidak lebih baik dari tempat pengolahan limbah, membuat gadis itu mau tidak mau membereskan kekacauan temannya. Kamar itu tampak jauh lebih baik sekarang. Setidaknya ia dapat melihat lantai dan karpet. Bukannya lautan sampah tepat di bawah kakinya.

Noah's Papa [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang