13. The Sun Watches What I Do [rev]

70 11 7
                                    

But the moon knows all my secrets.

***
Subuh tadi, gerimis menyapa pepohonan terlebih dahulu ketimbang si matahari. Langitnya lumayan mendung. Abu-abu warnanya. Lampu yang berjejer di setiap garis tepi jalan menyorot terang ke jalanan aspal yang beku kedinginan. Sinarnya miring dengan bayangan tetesan kecil air dari langit melayang-layang di udara lalu jatuh ke aspal yang mengkilat. Sedangkan sekitarnya gelap cuma tiang tinggi dengan cahaya yang menyorot aspal dan pohon eru di sampingnya.

Subuh tadi, cikal bunga mawar merah mulai mekar kelopaknya. Bersama air hujan yang mengalir deras di kaca luar jendela kamar. Tepat di sebelah kiri. Ikut berdetak dengan jantung dan mengalir dengan darah. Subuh tadi, bersama dinginnya kabut yang tercecer-cecer di ujung pandang dan embun di pot-pot kecil tanaman hias, cikal bunga mawar itu mulai menunjukkan duri hitamnya. Menusuk jantung dan menebar getah pahitnya.

Apakah gue keracunan? Ntahlah. Mungkin. Karena hari ini gue merasa bermasalah walaupun nggak mengeluhkan suatu penyakit. Tapi rasa cemas, khawatir, dan ragu jadi satu. Suatu perpaduan sempurna untuk bikin gue lemas tak bertenaga walau sudah sarapan 4 sehat 5 sempurna.

Maka, gue akan berobat ke orang yang tepat. Untuk menyembuhkan kerisauan sejak tadi malam Rabu. Nggak yakin sih. Tapi mau gimana lagi?

Payung warna-warni bertebaran di zebra-cross dengan lampu yang menyala merah di atas. Sebelum hijau, semua orang dengan setelannya masing-masing berlari kecil menyeberangi trotoar lembab di seberangnya.

"Loh? Kok elo berpikiran kalo jatuh cinta di usia remaja itu sia-sia?"

Gue datang mencari ruang hangat di salah satu coffeshop di pinggir kota. Bersetelan simpel, cuma sweter ungu pastel, jeans biru pudar sama sneakers putih. Kali ini rambut yang lumayan panjang ini gue gerai juga memakai pewarna bibir supaya kelihatan lebih manis.

Cowok itu, datang lebih awal ketimbang gue. Sudah memilih tempat di dekat jendela yang buram karena air hujan menghantamnya. Dua mug kopi dan cookies manis tertata rapi di atas meja kayu, asapnya meliuk mengepul di antara gue sama Hendery. Dia meminum kopinya sambil menatap gue yang sedari tadi belum menjawab pertanyaannya.

"Kenapa?"

"Kenapa elo mikir gitu?" tanya dia. Seperti dianalisis keluhannya, gue menghela napas untuk menjelaskannya.

"Karena gue bukan lo,"

"... bagi gue, nggak semua hal harus diungkapkan. Ya, kadang gue juga berharap supaya sehari aja dia tau perasaan gue. Tapi setelah gue pikir lagi, itu cuma keinginan sesaat."

"Setelah itu apa?" gue menatap dia bingung. "Merahasiakan perasaan memang sakit, tapi kehilangan seseorang yang kita sayang bukannya jauh lebih sakit ya?"

"Gue tanpa dia bakal jadi apa sih? Bukannya gue nggak bisa hidup tanpa dia, tapi kan, yang namanya manusia pasti butuh orang lain... dan dia satu-satunya support system yang paham betul siapa gue. Such a comfort zone."

"Gue nggak mau kehilangan dia."

Kali ini, yang menghela napas panjang adalah Hendery. Dia menjeda beberapa detik percakapan dengan mengusap wajahnya dan berakhir menopang dagunya.

"Jadi gimana nih? Lo ada niatan buat maju nggak?" tanya dia. Gue menggeleng dalam artian ragu.

Dia menghela napas lagi. "Gimana sih?"

INTJ And Life | Mark LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang