12. I Lose Interest When I Get Ignored [rev]

69 12 8
                                    

"Apa?"

"Please help me, Aberry, i need you right now..!"

"Why?"

"Bisa nggak ke sini dulu? Ini urgent banget sumpah!"

"Where?" tanya gue. Yang di seberang sana menyuruh gue untuk ke UKS.

Ngapain ke UKS? Mark menghela napas panjang, gusar. Lalu dia menjelaskan dengan nada panik apa yang tengah terjadi. Sesuatu yang nggak dia pahami karena nggak pernah mengalami.

"Hurry up.." ujarnya tak sabar dengan jeda yang gue buat.

Gue menutup telepon secara sepihak dan langsung melenggang menuju UKS yang berjarak empat blok gedung. Bangunan UKS itu dekat lapangan depan, sedangkan gedung kelas gue ada di blok paling belakang.  Lumanyan jauh.

Sebelum itu, gue mampir dulu ke koperasi membeli barang urgent pesanan Mark. Plester pereda nyeri.

"What the heck," umpat gue. Dia nggak sedang menstruasi, 'kan?

Berbagai persepsi menyembul di kepala seiring dengan mendekatnya langkah kaki gue yang tinggal beberapa ubin putih. Di balik sana, ada seseorang yang menunggu gue. Nggak yakin sih, atau, nunggu barang pesanannya? Lalu, gue menekan gagang pintu dan membukanya.

Kepala gue menyembul. Gue celingukan dulu dan menilik seluruh pojok mencari keberadaan Mark.

"Pakeett.."

Lalu di balik salah satu bilik menyembul wajah Mark. Raut mukanya panik sekali. Seperti habis menelindas kucing di jalanan.

Gue masuk ke bilik brankar pertama dekat pintu, di sana ada Marsha yang wajahnya pucat sedang meringkuk menahan nyerinya PMS. Di nakas kecil sudah ada segelas teh manis hangat dan beberapa jenis buah yang disiapkan Mark.

"Gimana nih? Sejak tadi pagi nyerinya nggak ilang-ilang? Dibawa tiduran pun nggak bisa, katanya perutnya bener-bener sakit kaya ke kuras," katanya sambil menatap Marsha iba.

Perlahan dia jongkok untuk mensejajarkan tubuhnya. "Lo bawa plester pereda nyerinya, 'kan?" tanyanya lemas.

"Sha..., coba pake dulu plesternya terus minum tehnya biar mendingan."

Marsha merengek pelan saat Mark menyentuh bahunya. Kelihatan sekali proses peluruhannya sangat menyakitkan. Dia cuma bisa meringkuk bulat-bulat dan sesekali meringis sambil mengubah posisi saat perutnya kembali terasa tertarik.

"Teh punya senyawa kimia yang menghambat penyerapan zat besi, sedangkan dia lagi defisit darah..."

"... lo mau bikin dia anemia?"

Mark langsung mendongak menatap gue. Iya terserah. Gue nggak sanggup sama tatapannya yang melas itu. Ketimbang salting, gue meraih plaster dan menyodorkannya ke Marsha biar dipake sendiri.

"Makasih..." lirih Marsha dengan suara parau.

"Gue nggak menerima ucapan terima kasih," gue menghela napas lalu menjentikkan tangan meniup kuku-kuku cantik gue yang kinclong. "Gue udah nyia-nyiain waktu istirahat selama 15 menit. Jalan berblok-blok jauhnya, beliin plester, dan berbaik hati kasih bantuan..."

"Beliin mi ayam sama es teh." telak gue. "Enak aja gue nggak dapet apa-apa."

"A—"

"Hhsszzzz...," gue menyela Mark yang hendak berbicara.

Di sana Marsha yang masih lemas menyentuh lengan Mark. Menatapnya teduh lalu mengangguk sekali sebagai perintah untuk mengabulkan permintaan gue.

"Bakso ding... nggak pake saus, sambel sama kecapnya dikit aja, cukanya yang banyak.."

INTJ And Life | Mark LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang