🍂 ―18.57, di sebuah studio dance di Kota Seoul.
――
Jimin baru saja menyelesaikan rutinitas dance-nya saat ia melihat Jeongguk di sudut studio, tengah berbincang dengan seorang perempuan yang Jimin tidak ketahui namanya. Mereka berdua terlihat asyik dengan obrolan mereka, tertawa dan bercanda. Ia merasa tidak pernah melihat perempuan itu di studio ini. Jimin mengerutkan alisnya dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan seutuhnya. Ia bisa merasakan duri-duri seperti menancap di hatinya satu per satu―membuat semakin banyak detik yang berlalu, semakin terasa sakitnya.
Sudah hampir tiga tahun Jimin kenal dengan Jeongguk―lebih tepatnya saat Jeongguk menjadi mahasiswa baru dan mengikuti UKM tari sama seperti Jimin―dan pemuda itu bukan tipe orang yang bisa memperlihatkan senyumannya dengan mudah. Saat Jimin baru mengenalnya, Jeongguk bahkan selalu menjaga jarak darinya, tak mau berbicara panjang, dan selalu memasang wajah yang dingin. Baru setelah satu tahun mereka berteman, Jeongguk mulai memperlihatkan senyum simpul pada Jimin sesekali. Karena itu Jimin merasa sedikit terkejut saat melihat Jeongguk tertawa di hadapan gadis itu.
Jimin buru-buru mengalihkan pandangannya begitu tatapan Jeongguk terarah padanya. Ia berpura-pura mencari botol minumnya dan meneguk air di dalamnya dengan cepat. Ia tidak ingin Jeongguk menyadari tatapannya. Ia juga tidak ingin Jeongguk tahu soal isi hatinya yang masih sama, meskipun Jimin sudah pernah mengatakannya langsung pada Jeongguk tiga bulan yang lalu. Jeongguk sudah pernah menolaknya, dan Jimin sudah berusaha mati-matian untuk melepaskan Jeongguk dari hatinya.
Saat studio itu semakin sepi, Jimin bergegas membereskan barang-barangnya untuk berlari pulang―tak ingin berhadapan dengan Jeongguk sama sekali, bahkan hanya untuk sekadar berbasa-basi. Saat ia baru saja sampai di depan pintu studio, sebuah tangan menghentikan langkahnya untuk keluar. Jimin menelan ludahnya dan menoleh, hanya untuk mendapati Hyeonmin―teman satu studionya―menggenggam tangannya.
"Hyeonmin? Ada apa?" tanya Jimin. Dalam hati ia berharap Hyeonmin bisa mengatakan urusannya secepat mungkin, sebelum Jeongguk menyadarinya.
"Jimin, lo abis ini sibuk gak?" tanya Hyeonmin.
Jimin mengerutkan alisnya sambil tersenyum, "Nggak. Memangnya kenapa? Kok tumben?"
Hyeonmin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dengan sedikit canggung. Ia lalu berkata dengan suara sedikit pelan, "Lo... mau makan gak? Gue pengen ajakin lo ke restoran yang enak deket sini... kalo lo mau."
Mata Jimin langsung terbuka lebar karena menyadari apa maksud dari Hyeonmin. Hampir semua orang di studio itu tahu Jimin gay dan tidak sedikit orang yang mengajak Jimin untuk berpacaran, meski semuanya Jimin tolak. Tapi kali ini, Jimin ingin buru-buru pergi dari studio itu, juga ingin buru-buru melupakan Jeongguk. Tanpa berpikir panjang, Jimin langsung menganggukkan kepalanya.
"Ayo, boleh." ucapnya.
Wajah Hyeonmin yang tadinya sedikit ketakutan kini berubah menjadi cerah. "Serius??" tanyanya.
Jimin kembali mengangguk sambil tersenyum. "Serius. Yuk, kita pergi sekarang. Gue laper."
"Oke, gue ambil tas gue―"
"Stop."
Baru saja Hyeonmin berbalik untuk mengambil tasnya, di hadapannya berdiri seorang pemuda dengan perawakan yang sedikit lebih besar darinya. Pemuda itu menatap Hyeonmin dengan tajam, membuat Hyeonmin merasa sedikit takut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor ; 18.57-11.13 [Jikook | Kookmin] COMPLETED
Fanfiction[COMPLETED] Jikook | Kookmin (SHORT) Malam itu, bulir-bulir bening jatuh dari langit―membuat air mata Jimin tersaru dan amarahnya sedikit tersapu. Jimin sudah memutuskan untuk pergi, namun begitu ia mendengar suara tangis itu, Jimin akhirnya luluh. ...