🍂 ―20.14, di kamar apartemen nomor 5813.
――
Jimin sudah mengganti bajunya yang basah kuyup, dan kini ia duduk di sofa sambil sesekali mengecek ponselnya. Sudah hampir empat puluh menit berlalu sejak Jeongguk menelepon Jimin, dan ia belum juga sampai di apartemennya. Harusnya jarak dari daerah studio ke apartemen Jimin hanya berkisar dua puluh menit. Entah kenapa perasaan Jimin menjadi tidak enak. Hujan sudah kembali turun dengan deras begitu Jimin sampai di apartemennya. Jeongguk pasti basah kuyup jika ia turun dari taksi sekarang. Jimin menggigit bibirnya dengan gelisah―berusaha menimbang-nimbang apakah ia harus mengabaikan gengsinya dan menelpon Jeongguk atau tidak. Ia berpikir untuk menjemputnya dengan payung di depan apartemen, tapi hatinya masih merasakan sedikit kemarahan.
Jimin menghela napasnya panjang-panjang sambil menatap langit-langit kamarnya. Akhir-akhir ini, ia tidak bisa mengerti Jeongguk. Jeongguk adalah orang yang dingin, tapi Jimin tahu Jeongguk adalah orang yang baik hati. Ia tidak pernah membentak Jimin, apa lagi memperlakukannya dengan kasar. Maka dari itu Jimin tidak bisa mengerti sikapnya hari ini, atau sikapnya setelah menolak Jimin.
Hati Jimin terasa berdenyut begitu menyadari ia tidak mengerti apa-apa soal Jeongguk. Jimin seharusnya sudah tahu Jeongguk bukanlah orang yang bisa dengan mudah mengatakan isi pikirannya, tapi ia tidak pernah mencoba menanyakannya langsung kepada Jeongguk. Jimin jadi merasa bersalah karena ia tidak pernah mencoba untuk memahami Jeongguk―memahami apa yang ada di balik wajah dinginnya itu.
Dengan sedikit ragu, Jimin menekan tombol di ponselnya dan menelepon Jeongguk. Dering pertama terdengar, belum ada jawaban. Begitu pula dengan dering kedua, ketiga, hingga dering terakhir. Jimin mengerutkan alisnya dengan bingung. Saat ini seharusnya Jeongguk sedang berada di dalam taksi, jadi seharusnya ia tidak kesulitan mengangkat telepon. Ia lalu kembali menelepon Jeongguk, hanya untuk kembali mendengar dering itu hingga habis.
Jimin buru-buru bangkit dari duduknya sambil terus menelepon Jeongguk. Ia melangkahkan kakinya tak tentu arah dengan gelisah, berharap mendengar suara Jeongguk dari seberang sana. Hatinya kini diselimuti rasa takut. Jantungnya berdebar kencang dan tangannya mulai berkeringat. Dengan air mata yang hampir menetes, Jimin akhirnya berlari keluar dari kamarnya sambil terus menghubungi Jeongguk.
***
🍂 ―20.39, di depan apartemen.
――
Sudah hampir setengah jam Jeongguk tidak mengangkat telepon Jimin, dan Jimin kini benar-benar panik. Ia menelepon teman-teman Jeongguk untuk bertanya apakah mereka melihatnya, tapi tidak ada yang melihat Jeongguk hari itu.
"Gguk... Gguk.. please angkat telpon aku.." gumam Jimin dengan air mata yang nyaris menetes.
Ia berdiri di depan apartemennya tanpa menggunakan payung―tak peduli baju yang baru saja ia ganti kembali basah kuyup. Bau petrichor masih tersisa sedikit di udara, tapi lagi-lagi hati Jimin tidak bisa menjadi tenang.
Ia sebenarnya ingin berlari mencari Jeongguk, tapi ia tak tahu harus mencari kemana. Jimin bisa merasakan harapannya hancur dengan perlahan. Di dalam otaknya, berbagai skenario terburuk muncul dan mulai menghujaninya tanpa ampun. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi kepada Jeongguk? Membayangkannya saja sudah membuat Jimin tak mampu menahan tangis atau berdiri, membuat tubuhnya terjatuh ke tanah yang basah.
"Gguk... please.. aku harus cari kamu kemana??" bisiknya sambil terisak.
"Ji.. min?"
Tiba-tiba saja, Jimin mendengar sebuah suara memanggil namanya. Ia langsung menoleh dan mendapati Jeongguk berdiri di hadapannya dengan tubuh basah kuyup dan wajah terluka. Jimin langsung bangkit dari tempatnya dan berlari memeluk Jeongguk dengan erat―tak peduli dengan rasa tidak nyaman yang ditimbulkan dari tubuh mereka yang basah. Saat ini ia butuh sesuatu untuk menghilangkan ketakutannya, sesuatu untuk memastikan bahwa Jeongguk baik-baik saja dan ia tidak sedang bermimpi.
"G-Gguk, ka-kamu gapapa?? Kok muka kamu luka?? Ke-kenapa kamu lama banget?? Kenapa kamu gak angkat telpon ak―"
Belum juga Jimin menyelesaikan omongannya, Jeongguk mempertemukan bibir mereka yang terasa dingin. Jimin terkejut bukan main, tapi lama-kelamaan ia meleleh dalam ciuman itu. Ciuman itu terasa begitu emosional, tercampur rasa air hujan dan air mata yang menetes dari mata keduanya. Ada banyak hal yang ingin mereka katakan pada satu sama lain, tapi saat ini, ciuman itu sudah lebih dari cukup.
Setidaknya untuk saat ini, mereka bisa menyampaikan isi hati mereka tanpa kata-kata yang selalu membuat mereka terluka.
――
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor ; 18.57-11.13 [Jikook | Kookmin] COMPLETED
Fanfiction[COMPLETED] Jikook | Kookmin (SHORT) Malam itu, bulir-bulir bening jatuh dari langit―membuat air mata Jimin tersaru dan amarahnya sedikit tersapu. Jimin sudah memutuskan untuk pergi, namun begitu ia mendengar suara tangis itu, Jimin akhirnya luluh. ...