🍂 ―19.25, di jalanan Kota Seoul.
――
Hari itu adalah penghujung bulan September, dan bulir-bulir bening tiba-tiba saja turun membasahi kota Seoul. Bau khas hujan yang menyentuh tanah langsung menyeruak memenuhi udara―bau yang biasanya Jimin sukai, namun kali ini hanya membuatnya merasa seperti ada batu besar yang tersangkut di tenggorokkannya. Bahkan suara deru air hujan yang biasanya membuat Jimin tenang kini justru terdengar memekakkan telinga. Ia ingin lari dari kebisingan itu, tapi ia tak tahu harus kemana.
Jimin melangkahkan kakinya di tengah hujan, tak peduli seluruh tubuhnya sudah basah kuyup dan tangannya bergetar kedinginan. Tak akan ada yang menyadari air matanya jika ia membiarkan hujan membasahi tubuhnya, pikir Jimin. Dan kedinginan yang ia rasakan, mungkin bisa sedikit meredupkan rasa amarah yang menggerogoti hatinya tanpa ampun.
Kali ini, Jimin sudah memutuskan untuk pergi meninggalkan Jeongguk. Ia sudah sampai di titik puncak batasannya, dan ia ingin sekali turun. Jimin akan memantapkan hati, meski ia tahu separuh hatinya akan terbawa ketika ia benar-benar melepaskan Jeongguk, dan rasa sakitnya akan terasa sangat menyiksa. Namun ia sudah terlalu marah, atau mungkin terlalu lelah.
Ya, Jimin marah. Amat sangat marah. Tapi ia tidak tahu kepada siapa amarah ini tertuju. Apakah kepada Jeongguk? Atau kepada dirinya sendiri? Mungkin keduanya. Yang pasti Jimin sangat ingin kemarahan di hatinya hilang. Ia tidak mau sampai membenci. Sangat tidak mau. Karena itu ia pergi jauh-jauh dari Jeongguk, ingin setidaknya meredakan amarah yang bergolak sebelum benar-benar melepaskan Jeongguk.
Setelah sepuluh menit berjalan di tengah hujan, langkah kaki Jimin terhenti begitu ia merasakan ponselnya bergetar. Ia mengeluarkan ponselnya dan menatap nama yang tertera di layar itu―Jeongguk. Jimin menggigit bibirnya sambil menahan isak. Ia sudah berkata pada Jeongguk untuk tidak meneleponnya. Saat ini ia tidak tahu bagaimana harus menghadapi pemuda itu. Hatinya terlalu kacau dan dikabuti kemarahan. Ia takut akan menyakiti Jeongguk jika bicara padanya. Tapi pemuda itu tak mendengarkan ucapan Jimin, dan sekarang ponsel Jimin terus bergetar tanpa henti.
Dengan kemarahan yang terasa memuncak, Jimin akhirnya mengangkat telepon itu.
"Bukannya udah aku bilang?? Jangan telpon aku!!" pekiknya keras-keras.
Tidak ada jawaban dari seberang sana, dan Jimin merasa kemarahan di hatinya semakin bertambah.
"Kalau kamu nggak mau ngomong, buat apa nelpon??" serunya.
Baru saja Jimin hendak menutup telepon itu, ia mendengar isakan keras dari ponselnya. Lalu suara Jeongguk yang lirih mengikuti, "Ji-Jimin... ma-maafin aku, please... maaf maaf... maafin aku, Ji. P-please jangan pergi..."
Jimin mematung di tempatnya tanpa suara. Tanpa ia sadari hujan sudah mulai reda, dan yang tersisa hanya rintik-rintik kecil yang nyaris tak terlihat. Ia kini bisa mendengar dengan jelas suara isakan itu tanpa deru hujan yang memekakkan telinga.
Jimin tak tahu harus apa. Jeongguk bukanlah orang yang sering mengekspresikan emosinya dengan gamblang. Ia biasanya hanya tersenyum simpul atau memasang wajah tanpa ekspresi. Belum pernah satu kali pun Jimin melihat atau mendengar Jeongguk menangis, apalagi sampai tersedu. Dan saat ini, Jeongguk menangis keras di seberang telepon―membuat hati Jimin terasa seperti teriris.
"Jeongguk," ucap Jimin dengan suara yang lebih tenang. "udah aku bilang jangan telpon aku, kenapa gak dengerin?"
"Ji.. maafin aku. Ta-tapi aku bener-bener takut.. Aku.. aku gak mau kamu pergi, please.." lirih Jeongguk.
Jimin kembali menggigit bibirnya, merasakan berjuta emosi yang membuatnya semakin bingung. Ia ikut menangis dalam diam. Hatinya sakit. Jeongguk membuatnya sakit. Tapi hatinya terasa jauh lebih sakit ketika Jeongguk kesakitan. Dengan sekuat tenaga, Jimin menghapus air matanya dan berusaha meredakan amarahnya.
"Kamu di mana sekarang?" tanyanya.
"Nggak tau.." jawab Jeongguk jujur.
Jimin mengerutkan dahinya dengan bingung, "Serius, kamu di mana? Biar aku jemput."
"Aku tadi keluar ngikutin kamu, tapi aku nyari kamu gak ketemu... aku gak tau ini di mana.." ucap Jeongguk.
Jimin menghela napas panjang, "Shareloc aja, biar aku jemput."
"Ng-nggak usah, Ji. Aku naik taksi aja.. tapi please.. aku boleh ke apart kamu, ya? A-aku mau ngomong sama kamu. Aku mau minta maaf langsung. Ada banyak hal yang mau aku omongin.. Please?" ucap Jeongguk dengan suara yang masih sedikit terisak.
Jimin bisa merasakan hatinya luluh dengan perlahan. Mungkin hujan benar-benar sudah meredakan amarahnya. Mungkin juga petrichor sudah bisa kembali membuat Jimin tenang. Atau mungkin, hanya hati Jimin yang kembali jatuh ke orang yang sama―seperti saat tiga tahun yang lalu.
"Oke. Aku tunggu. Hati-hati di jalan... Gguk." balas Jimin singkat.
Ia lalu menutup teleponnya tanpa menunggu balasan Jeongguk. Lalu dengan hati yang bergemuruh, Jimin kembali melangkahkan kaki menuju apartemennya.
――
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor ; 18.57-11.13 [Jikook | Kookmin] COMPLETED
Fanfiction[COMPLETED] Jikook | Kookmin (SHORT) Malam itu, bulir-bulir bening jatuh dari langit―membuat air mata Jimin tersaru dan amarahnya sedikit tersapu. Jimin sudah memutuskan untuk pergi, namun begitu ia mendengar suara tangis itu, Jimin akhirnya luluh. ...