20.45 - 11.13 ; Home

509 57 5
                                    

🍂 ―20.45, di kamar apartemen nomor 5813.

――

"Maaf."

Kata itu yang pertama kali diucapkan oleh Jeongguk setelah beberapa menit mereka tenggelam dalam keheningan. Jimin menghela napasnya panjang sambil tersenyum tipis. Tangan mungilnya mengusap pipi Jeongguk dengan lembut, membuat Jeongguk refleks memejamkan matanya.

"Gguk, just talk to me whenever you're ready, okay?" ucap Jimin.

Mata bulat Jeongguk kini menatap langsung mata Jimin. Di dalamnya, Jimin seperti melihat galaksi―penuh bintang yang berbinar. Kalau melihat mata itu, Jeongguk jadi terlihat seperti anak kecil, jauh dari kesan dingin yang biasanya ia perlihatkan. Memikirkannya saja sudah membuat hati Jimin terasa begitu hangat dan senyuman tanpa sadar mengembang di wajahnya.

Jeongguk menatap pemuda indah di hadapannya itu tanpa suara.

"Ji.. I love you."

Jantung Jimin terasa seperti meledak mendengar ucapan Jeongguk yang tiba-tiba. Ia mengedipkan matanya berulang kali, berusaha memproses apa yang baru saja terjadi. Entah kenapa, air mata kembali menumpuk di pelupuknya―mendesak untuk keluar.

"Ji?? K-kok nangis?? Ke-kenapa??" tanya Jeongguk dengan panik. Tangan besarnya mengusap air mata Jimin dengan canggung dan hati-hati.

"Gguk.. kamu serius?" tanya Jimin.

Jeongguk menatap Jimin dengan sedikit terluka, lalu mendekapnya dengan erat. "Ji.. maafin aku. Aku.. aku.. aku sebenernya gak mau nolak kamu waktu itu. Heck, I love you from the first time I met you, jadi aku.. aku bener-bener gak mau nolak kamu. Tapi.."

Jimin melepaskan pelukan Jeongguk untuk menatap matanya. "Tapi apa?"

"Pa-Papaku.. dia tau soal kamu, Ji. Di-dia.. Dia marah besar pas tau kalo aku suka sama kamu. Dia ngancem aku kalo dia bakal ngasih tau kampus kalo kamu nge-ngelecehin aku dan bikin kamu dikeluarin. A-aku tentu aja gak mau.. ja-jadi aku nolak kamu. Aku juga.. pura-pura deket sama cewek-cewek lain.. karena dipaksa sama Papaku. Maafin aku, Ji.. please maafin aku.."

Saat ini, Jimin merasa begitu sakit. Ia tidak pernah mencoba menanyakan alasan Jeongguk soal perubahan sikapnya. Ia selalu berpikir bahwa Jeongguk adalah orang yang egois, hanya memikirkan perasaannya sendiri tanpa memikirkan perasaan Jimin. Padahal Jimin tahu Jeongguk tidak seperti itu. Dan kenyataannya, yang egois adalah Jimin. Yang hanya memikirkan perasaannya sendiri adalah Jimin.

Jimin menggelengkan kepalanya. "Gguk, kamu gak salah. Yang salah itu aku. Harusnya aku nanya langsung ke kamu. Aku tau kamu orangnya susah buat ngejelasin isi pikiran kamu. Aku juga tau kamu gak mungkin tiba-tiba jadi kayak gitu. Maafin aku, Gguk.. Maaf juga karena.. udah nampar kamu."

"Ta-tapi, Ji, yang nyakitin kamu itu aku. Tadi aku emang udah kelewatan, wajar kalo kamu nampar aku. Kamu jangan minta maaf, please.. Kalo kamu minta maaf aku gak akan pernah bisa maafin diri aku sendiri."

Jimin langsung menarik Jeongguk ke dalam dekapannya. Ia mengusap-usap rambut halus Jeongguk. "Yaudah, intinya.. kamu udah minta maaf, dan aku udah maafin kamu. Aku juga udah minta maaf, dan aku anggep kamu udah maafin aku. Jadi, please stop blaming yourself, okay?"

"Mn." jawab Jeongguk singkat.

"Terus kamu kenapa dateng telat? Telpon aku juga gak diangkat."

Ada jeda sesaat sebelum akhirnya Jeongguk menjawab, "Aku.. tadi ketemu Papa."

Jimin langsung melepaskan pelukannya dan menatap Jeongguk dengan khawatir. "Te-terus gimana??"

"Aku ketemu Papa.. pas dia lagi jalan sama.. cewek."

"Cewek?? Si-siapa?"

Jeongguk menggelengkan kepalanya. "Nggak tau. Tapi aku yakin itu selingkuhan dia. Jadi aku foto diem-diem, terus aku samperin Papa dan ngancem bakal kasih tau Mama kalo dia apa-apain kamu."

"G-Gguk.. t-tapi.. te-terus??"

"Dia gak peduli, Ji. Dia bilang dia gak takut sama aku, karena aku gak bakal berani nyakitin Mama. Dan.. dia bener. Aku gak bakal berani nyakitin Mama, tapi di situ aku muak sama Papa. Bener-bener muak. Jadi aku kirim foto itu ke Mama, karena aku pikir Mama bakalan lebih sakit kalo gak tau soal ini. Dan.. Papa marah. Dia mukul aku sampe HP aku kelempar. Makanya aku gak bisa angkat telpon kamu."

Jeongguk melanjutkan ucapannya. "Aku nangis di hadapan Papa, Ji, buat yang pertama kalinya. Aku anak yang paling Papa benci, mungkin karena cuma aku yang berani ngelawan Papa buat ngelindungin Mama sama adik aku. Dan selama ini aku selalu nahan sekasar apapun Papa ke aku. Tapi hari ini.. aku bener-bener capek. Aku teriakin Papa, gak peduli orang-orang ngeliatin kita kayak orang gila. Aku bilang, Papa udah nyakitin dan ngerebut semua orang yang aku sayang. Mama dan adik aku jadi ngejauhin aku karena takut dipukul Papa. Aku... sekarang cuma punya kamu, Ji, dan Papaku juga mau ngerebut kamu. Aku nggak bisa. Cuma kamu satu-satunya orang yang bisa bikin aku senyum lagi."

"Ggukie.." kini Jimin kembali menangis mendengar cerita Jeongguk, ditambah lagi Jeongguk juga sudah berlinang air mata. Ia sama sekali tidak tahu Jeongguk menyimpan kesedihan yang begitu mendalam sendirian―tanpa ada orang yang bisa ia bagi kesedihannya.

"Papa kaget liat aku nangis dan teriak kayak gitu. Dan dia cuma bilang 'terserah' sambil pergi ninggalin aku. Abis ini.. mungkin Mama bakal cerain Papa. Aku.. aku udah bikin keluarga aku sendiri ancur, Ji.. aku egois banget, ya? Aku tadinya gak berani dateng ke tempat kamu karena ngerasa nggak pantes, tapi.. tapi aku bener-bener capek. Aku pengen pulang... Pulang ke kamu, Ji. I'm so sorry."

Jimin buru-buru menggelengkan kepalanya. "Gguk, kamu nggak egois. Kamu juga nggak ngancurin keluarga kamu. Kamu punya alasan buat ngelakuin itu semua, jadi kamu jangan salahin diri kamu sendiri. Kamu sendiri yang bilang kalo Mama kamu bakal lebih sakit kalo nggak tau, dan aku setuju. Kalian semua udah cukup lama bertahan sama orang yang kasar, dan mungkin ini udah saatnya kalian lepas. Kalian semua pantes buat bebas dari orang itu, Gguk. Yang nyakitin keluarga kamu itu Papa kamu, bukan kamu. Dan bisa aja dengan cerai mungkin bisa bikin keluarga kamu jadi lebih baik. We don't know about the future, Gguk. So, please.. don't blame yourself. Wajar kalo kamu capek, kamu itu manusia. Semua orang punya batasan. Kalo kamu capek, kamu boleh pulang kapan aja, Gguk. I'm here, and will always be here."

"T-tapi, Ji―"

"Gguk, please?" potong Jimin dengan tatapan memohon.

Jeongguk akhirnya mengangguk ragu. "Thank you, Ji."

Jimin tersenyum lalu berkata dengan suara yang sedikit bergetar, "I love you, Jeon Jeongguk."

"I love you too, Park Jimin."

***

🍂 ―11.13, di kamar apartemen nomor 5813.

――

Hujan masih membasahi kota Seoul tanpa henti. Kedua pemuda itu tertidur dengan tubuh yang saling menempel―berusaha mencari kehangatan di tengah udara yang terasa dingin. Suara deru hujan yang jatuh kini terdengar seperti lagu pengantar tidur, mengantarkan mereka ke alam mimpi dengan cepat. Senyuman terpasang di wajah kedua orang yang terluka itu. Terluka, namun mereka sudah menemukan cara untuk menyembuhkan luka itu. Terluka, namun mereka sudah menemukan tempat untuk pulang.

Malam itu, entah sejak kapan petrichor sudah menghilang dari udara.

―end.

🎉 Kamu telah selesai membaca Petrichor ; 18.57-11.13 [Jikook | Kookmin] COMPLETED 🎉
Petrichor ; 18.57-11.13 [Jikook | Kookmin] COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang