Rainzee (12)

1.7K 228 3
                                    

Zee terbangun dari tidurnya, melirik jam dinding di sebelah kiri ranjang. Pukul tujuh pagi, itu berarti sudah hampir semalaman ia menutup mata.

Gadis itu kembali memuntahkan isi perutnya, mengundang kedatangan Mbok Nem dengan raut wajah khawatir.

"Non, masih nggak enak ya perutnya?" Zee mengangguk, membenarkan pernyataan Mbok Nem.

"Mau Mbok, buatkan teh panas? Biar sedikit enak perutnya?" tanya wanita yang sudah lebih dari setengah abad itu sambil mengelus pelan rambut asuhannya dari kecil.

"Boleh Mbok, tapi minta tolong dibersihkan dulu ya." pinta Zee melirik lantai yang kotor karena ulahnya.

Mbok Nem mengangguk sambil tersenyum simpul. Setelah membersihkan lantai tersebut dan menyemprotkan pengharum ruangan, beliau turun ke bawah untuk mengambilkan teh panas untuk nonanya.

Tak berapa lama, wanita bertubuh gempal itu kembali ke kamar Zee membawa nampan berisi teh panas dan soto ayam, kesukaan Zee kalau badannya tidak enak.

"Makan dulu ya Non, nanti habis minum obat terus tidur lagi."

Mbok Nem menaruh nampan di atas meja kecil di samping kanan ranjang Zee, lantas membantu gadis itu bersandar pada kepala ranjang.

Mbok Nem merawat Zee dengan baik seperti biasa. Hal yang sama juga dilakukan sang mama jika ia sedang sakit begini. Zee, lagi-lagi gadis itu meneteskan air mata sambil sesekali di suapi soto ayam oleh Mbok Nem.
_

Gadis cantik dengan wajah pucat itu membuka matanya perlahan, menemukan sosok yang rela kehujanan demi dirinya duduk di samping ranjang, menatap gadis itu lembut. Tangan kanannya pun digenggam erat oleh laki-laki muda itu.

"Sudah baikan?" tanya pelan laki-laki itu mengelus rambut gadis di depannya.

Zee mengangguk pelan, tubuhnya masih lemas belum terlalu bisa banyak bergerak.

"Terimakasih ya Pak, maaf banget merepotkan---"

"Ssssst, sudah. Saya nggak merasa di repotkan."

"Pak,"

"Kenapa?"

"Kata Bapak, kita ini salah satu ketidaksengajaan bukan?" Kafka mengangguk, menatap dalam gadis itu.

"Maka, Bapak adalah ketidaksengajaan yang paling Zee syukuri. Zee senang bertemu Bapak."

Kafka mengangguk, mengelus pelan tangan yang ia genggam. Menatap mata almond Zee, mengulas senyum.

"Setiap perjalanan selalu memiliki arti Zee, tidak ada yang perlu di sesali. Kita ini hanya pemain, sutradaranya Tuhan."

"Kalau seperti ini, bapak kayak laki-laki beneran ya," celetuk Zee yang dibalas kerutan dalam dahi Kafka.

"Loh, memang. Makanya nggak heran kan kalau fans saya banyak, secara saya itu ganteng, pinter, idaman lagi."

"Sumpah, ini kalau ada salah satu siswi aja tau sifat narsis bapak yang satu ini aja, fiks pasti udah bubar tu fans club Pak Kafkami"

"Kamu,"

"Ya maksudnya kecuali saya. Kalau saya ya sudah tahan banting lihat bapak seperti ini."

R A I N Z E E (Re-upload)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang