Hari yang cukup melelahkan itu akhirnya usai. Diakhiri dengan seorang gadis yang menikmati es krim pesanannya sembari menatap sungai di depannya, pria yang kini tengah menatap dirinya itu dengan inisiatif membelokkan mobilnya ke arah taman yang berdampingan langsung dengan sungai.
"Yakin ga mau pak?" tawar gadis yang beralih pada cup keduanya itu, lagi-lagi.
"Saya sudah kembung es Kampul Zee," Gadis itu tersenyum lebar menanggapi.
"Kata Babe, kamu kemarin baru saja dari sana. Kenapa tadi kamu ngajak saya ke sana? Apa ga bosen tiap hari makan nasi goreng?" tanya Kafka yang menatap gadis di sebelah joknya. Angin malam ini cukup kencang, keduanya memutuskan untuk tetap di mobil sembari menikmati pemandangan sungai di depan.
Suapan es krim memelan tanpa ia sadari. Mulut yang awalnya aktif mengunyah makanan dingin itu perlahan berhenti, matanya fokus memandang sungai di depannya.
"Bapak suka kesepian tidak?" tanya gadis itu tidak mengalihkan pandangan.
"Tergantung si, kadang kalau lagi kerja ya lebih baik sepi dan sendiri tapi kalau suntuk bekerja ya enaknya kumpul, ngobrol, main gini." jawab Kafka lancar, netranya perlahan mengikuti objek yang di pandang Zee.
"Tapi Zee gak pernah suka sepi Pak. Papa sering kerja di luar kota, Abang di luar negeri kuliah, Mbok Nem akhir-akhir ini sering bermalam di rumahnya sendiri, karena cucu-cucunya berkunjung. Lalu saya? Cuman sama Mang Adi, itu pun kadang Mang Adi suka nongkrong di depan perum sama temen-temennya." Zee menyuapkan satu sendok es krim dalam mulut, tidak mengubah pandangan.
"Tapi kalau sama Babe dan Budhe, Zee ada teman bicara. Hal apapun dibicarakan, walau itu sekedar membicarakan pengendara yg lewat atau anak kecil yang menarik ujung baju ibunya yang sedang makan, meminta untuk segera pulang. Saya benci kesepian pak. Dari segala kesakitan yg pernah saya alami, hanya kesepian yg paling menyakitkan untuk saya." gadis itu berhenti berbicara. Meletakkan cupnya, menoleh pada kaca mobil yg dibuka. Menghirup udara sebanyak-banyaknya.
"Kamu tau Zee?" ucap pria yang ikut kini menatap gadis yang mencari udara itu. Tidak ada tanggapan.
"Kamu tidak pernah sendiri. Selalu ada Tuhan di samping orang-orang yang mau berusaha. Dan sepertinya kau melupakan kehadiranNya Zee, jadi kamu begitu takut dengan kesepian itu. Padahal, Tuhan tidak pernah beranjak sedikit pun meninggalkanmu."
Zee menoleh sengit, "Tuhan? Bapak bicara apa tentang Tuhan?"
"Kepercayaan ku pada Tuhan telah hilang Pak. Telah ku lakukan dosa sebesar apa, hingga tuhan memporak-porandakan semua mimpiku? Semua kebahagiaanku? Dimana letak konsep tuhan selalu membantu? Dibantu apa aku oleh-Nya? Mama diambilNya begitu saja, Papa gila, Abang terlebih. Lalu dimana kebaikan Tuhan itu pak? Benarkah tuhan benar ada? Jika iya, apa balasan dari setiap malam tangisanku meminta belas kasihan? Dimana pak? Dimana bahagiaku?" tanya gadis yg dikuasai amarah itu menuntut jawaban.
Zee memalingkan muka dari laki-laki disampingnya yang pias, terkejut dengan respon yg diberikan. Ia mengambil nafas dalam-dalam, menenangkan diri yang tiba-tiba saja lepas kendali.
"Mau pulang Zee?" tanya Kafka pelan, Zee mengangguk pelan.
Kaca mobil dibiarkan terbuka. Membiarkan gadis itu menghirup udara sebanyak-banyaknya, sekedar untuk membuat hatinya yang tengah sesak itu sedikit lega. Kafka menggapai tangan kanan gadis itu. Menggenggamnya erat sembari tetap fokus menyetir mobil yang ada dalam kendalinya itu.
Tentu sang empu reflek menoleh, menampilkan wajah terkejut sekaligus bertanya. Namun sang pelaku tetap tenang, membiarkan tangan yang cukup dalam genggamannya itu mendapatkan kenyamanan.
Sepuluh menit kemudian tidak ada percakapan apapun hingga keduanya sampai pada halaman rumah mewah dengan taman hijau yang memanjakan mata. Apalagi malam hari, rumput-rumput itu diterangi sinar bulan yang membuatnya seperti hidup.
Kafka melepaskan genggaman, membuka tangannya yang panjang itu lebar-lebar. Memberikan tempat berpulang sejenak pada gadis di depannya itu.
Zee berkaca-kaca, setetes air mata lebih lancang turun dahulu. Bukan menerima dekapan gratis yang tidak pernah ia rasakan itu, ia hanya menangis di tempat duduknya. Kali pertama gadis itu menangis di depan orang yang baru saja masuk dalam hidupnya.
"Everything will be oke Zee. Tidak ada kesedihan yang terus menerus, begitupun sebaliknya. Semua berjalan bergantian dan beriringan. Kamu harus belajar menerima itu. Jangan lari dari luka Zee, terluka-lah sampai kamu tidak lagi merasakan sakitnya luka itu sendiri." ujar Kafka mengelus pelan punggung yang naik turun itu
"Bapak memang mau menemani aku?" tanyanya disela tangis yg sudah tak dapat ia bendung itu.
Kafka mengangguk mantap, mengambil tisu pada bagian atas mobil.
"Saya temani, Zee. Saya temani kamu sampai kamu sembuh."
TBC
lama puool ga update rainzee, perkara lupa sandi WP jadi lupa. Hari ini karena habis ketemu Omar daniel jadi semangat nerusin. wkwk semoga tidak ad bibit" kemalasan yg datang pada saya lagi yaa wkwkwMalam all💗
love yuu pul💙
KAMU SEDANG MEMBACA
R A I N Z E E (Re-upload)
Teen Fiction"Sampek dunia mau roboh, gw gak bakal suka bahasa inggris" -Zee "Ada banyak sekali hal yang terjadi di luar rencana kita Zee, buktinya saya dan kamu" -Kafka _ "Pelit amat" "Harus dong,biar cepet kaya" "Nikah aja sama saya,auto kaya kamu" -Kafka "Aut...