Act of Service

113 9 2
                                        

Awan tidak menyangka dia akan bertemu dengan gadis itu lagi.

Namanya Kartika. Gadis yang senyum dan tawanya seperti sebuah penyakit menular yang berjangkit dengan cepat. Yang tidak lain dan tidak bukan adalah juniornya di jurusan yang sama. Dan yang entah bagaimana selalu muncul di hadapannya ketika Awan mulai memikirkannya dalam benaknya.

"Kak Awan" Tika meletakkan tasnya di mejanya.

"Tika" balas Awan.

Hari ini blus Tika berwarna biru dan celana jinsnya berwarna putih. Senada dengan warna langit yang cerah dan sedikit berawan pagi ini.

Awan tidak menyangka mereka akan berakhir magang di tempat dan waktu yang sama. Awan memang memutuskan magang di semester-semester akhir karena beberapa hal. Yang tidak ia duga, Tika justru mengambil magang semester ini, setahun lebih awal dari seharusnya.

"Biar banyak pengalamannya Kak" begitu katanya.

Awan ingat waktu dia menjalani program asistensi dosen untuk dosen yang mengajar di kelas Tika dulu, Tika bukan mahasiswi yang selalu aktif di kelasnya dan selalu mengacungkan tangan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Sebaliknya, gadis itu seringkali terlihat gugup setiap presentasi dan terkadang kehilangan kata-kata di tengah kalimatnya, di depan teman-temannya di kelas karena gugup. Kalau sudah begitu, Tika akan menoleh ke teman sekelompoknya yang berdiri di sebelahnya, lalu meremas tangannya guna meminta sedikit bantuan. Membuat Awan tersenyum dalam hati karena entah kenapa hal itu terlihat begitu lugu di matanya.

Awan jadi ingat hari-harinya sebagai mahasiswa baru. Awan juga pernah begitu. Entah kenapa melihat Tika selalu mengingatkannya dengan dirinya yang dulu. Awan yang pemalu dan selalu takut membuat kesalahan. Awan yang tak jarang merasa kecil hanya karena sebuah kritik dari orang lain. Bedanya ia selalu bisa menyembunyikan itu semua.

Awan pertama kali mengobrol dengan Tika sewaktu gadis itu datang ke rumah indekosnya untuk berkonsultasi mengenai proposal makalah tugas akhir semesternya. Diwarnai insiden Tika yang hampir menangis karena sempat tersasar ketika mencari alamat kosannya.

Ralat, sudah menangis. Awan menemukannya di seberang jalan tak jauh dari kosnya.

"Maaf Kak-hik-tadi kirain enggak bakal nemu kosan Kakak"

"S-saya yang salah enggak nelfon kamu" gagap Awan, tidak tahu bagaimana cara menenangkan gadis yang sedang menangis.

"G-gelap banget lagi-hik-jalannya"

Jadilah setelah satu jam ia berusaha membantu Tika memperbaiki proposalnya dan gadis itu perlahan-lahan kembali ceria, pulangnya Awan mengantar Tika hingga ke rumah kosnya. Atau lebih tepatnya Awan mengekor di belakang gadis itu dengan motornya, melewati jalan raya yang telah sepi dan memasuki gang-gang sempit yang minim penerangan untuk kemudian dimuntahkan ke gang lain.

Awan ingat dinginnya angin malam yang menyapa tengkuknya. Tapi entah mengapa melihat punggung Tika yang hanya dilapisi kardigan warna pink pucat di depannya nembuatnya merasa cukup hangat.

Ketika akhirnya Tika berterimakasih dan melambaikan tangan ke arahnya dengan senyum yang riang dan bersahabat, Awan merasa begitu lega. Meski kejadian itu enggak serta-merta membawa mereka lebih dekat, sejak saat itu Awan dan Tika telah menjadi dua orang yang saling mengenal.

"Kak Awan!"

Begitu Tika biasa menyapanya setiap mereka bertemu di area sekitar gedung fakultasnya, atau di kantin, atau mungkin perpustakaan jika gadis itu sedang mengerjakan tugas atau entah apa bersama teman-temannya. Maka itu, Awan kaget sekali mendengar sapaan itu di kantornya, di hari pertama ia menjadi pegawai magang.

FivenallyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang