Happy Reading
--oOo--
Terkejut bukan jika seorang guardian pelindung bunga dengan nama marga Rosa ini memiliki perasaan? Itu umum di antara bangsa kami, termasuk jatuh hati kepada seorang gadis, hm, manusia. Kupikir aku tak akan mengalami hal konyol ini. Namun aku salah.
Banyak orang bilang, penyesalan selalu datang di akhir. Itu benar. Aku ini, yang buruk ini, merasa menyesal, atau ah entahlah. Sulit menjelaskannya. Sedih, malu, menyesal, kehilangan, semua bercampur secara abstrak.
Aku mulai menuliskan semua yang aku rasakan lagi, sejak aku bertemu gadis itu. Aku menulisnya, karena terlalu takut untuk mengungkapkannya. Saat aku membacanya, rasanya dia masih ada bersamaku walau kami tak pernah dekat.
Ya, hanya hitam di atas putih. Tak pernah terucap.
Rintik hujan sore itu mengguyur kota kecil ini, menyeruakkan bau tanahnya yang khas, serta, bunga mawar putih yang menyambut hal itu dengan gembira.
Aku selalu merindukannya dengan perasaan sesal ada di dalamnya. Kubaca buku harianku ini, terus-menerus, tak pernah bosan, walau hanya sepatah dua patah kalimat yang aku tulis disini. Intinya, dirinya begitu menarik. Aku tersenyum dan tertawa saat membacanya, mengingat kejadian konyol yang pernah dia lakukan, atau yang aku lakukan saat memerhatikannya.
kemudian menangis lagi , untuk kesekian kalinya.
.
.
."Tugas kamu udah selesai?" Tanya seorang gadis berambut hitam berkuncir ekor kuda pada teman perempuan di sebelahnya.
"Udah dong" jawab Jia, yang ditanyai.
"Dih, tumben rajin." Gadis yang bertanya tadi--Yuna, terkejut tak percaya.
"Kemarin dimarahin ibuku, nilaiku banyak yang jelek. So, I think I should to change my habits. Kita tu udah kelas 12, bentar lagi mau lulus," kata Jia, menepuk jidatnya kemudian.
"Oh, kalo gitu contekin dong, aku belum ngerjain nih."
"Ogah, kerjain sendiri dong."
"Lah anjir, ini terakhir deh. Beneran, please" katanya dengan nada memohon.
"Okay, kamu udah janji," ujar Jia, kemudian mengambil buku tugas yang berada di dalam tas sekolahnya. "Nih." Jia menyodorkan bukunya.
"Uwa makasih. Kalo kamu gak mau nyontekin kan aku bisa nyari contekan ke yang lain."
"Idih, pede banget," katanya seraya memberi pukulan, yang sebenarnya tidak keras juga tapi yang dipukul mengaduh. Formalitas, mungkin?
"Canda, gak usah digebuk juga."
"Buruan anjiran, bentar lagi masuk. Ngoceh mulu."
"Iya-iya bacot."
.
.
.Istirahat pun tiba. Kedua gadis yang tadi pagi bercekcok masalah tugas itu buru-buru keluar dari ruang kelas mereka. Benar-benar siksaan jika tiga jam pelajaran pertama adalah Matematika, kepala ingin pecah seketika.
"Mau jajan apa breh?" Tanya gadis berkuncir kuda tadi pada Jia.
"Bentar liat-liat dulu apaan yang enak." Jia menjawab sekenanya.
Yuna tampak sudah selesai menentukan pilihannya, dan pilihannya pun jatuh pada risoles isi mayonnaise serta pastel. Ia membeli masing-masing dua buah. Selepas itu, ia membayarnya tentu saja, tidak mungkin anak seorang pengusaha kain tenun yang bisa dibilang cukup sukses itu berutang pada ibu kantin. Tapi sebenarnya tidak masalah juga.
Omong-omong, ini sekolah rakyat biasa. Mayoritas siswanya berasal dari keluarga miskin, kecuali murid anak juragan tanah dan pengusaha lainnya yang tergolong mampu, namun tidak diterima di sekolah elite. Yuna contohnya.
Baik, dimohon untuk tidak meremehkan Yuna terlebih dahulu.
Terlepas dari itu, Jia sedari tadi terus menggeser bola matanya kesana kemari karena tak kunjung menemukan makanan yang dia inginkan. Akhirnya dia mengambil sebotol air mineral dingin, kemudian membayarnya. Selepas itu ia duduk di samping Yuna yang tampak menikmati risoles dan pastelnya yang masih panas, memang nikmat tiada duanya.
Jia membuka botolnya, meneguk airnya dua kali, lalu menutupnya lagi. Matanya mengitari seluruh penjuru kantin, dan terpaku pada satu sosok.
Dia laki-laki, kelihatannya tidak terlalu tinggi, namun entahlah. Jia lihat dia sedang duduk di sebuah bangku taman sekolah sambil memandangi bunga yang ada di depannya sambil tersenyum teduh. Dia tidak memakai seragam sekolah, hanya menggunakan, jaket? Entahlah, itu cukup kuno. Dan, Ia menggunakan celana kain yang sudah lusuh. Intinya pakaiannya aneh. Yang lebih aneh adalah laki-laki itu menggunakan topeng yang hanya menutup wajah bagian atasnya, namun matanya masih terlihat. Ia menggunakan tudung jaketnya yang saat itu hanya menutupi rambutnya.
Jia mengikuti pandangan laki-laki itu, menatap tumbuhan bunga mawar berwarna merah muda yang tertanam di tanah berumput taman sekolah.
"Bunga mawarnya biasa aja kok," gumamnya, kemudian memalingkan pandangan dari bunga itu. Dilihatnya gadis gemuk di depannya sudah selesai dengan kegiatan menyantap gorengan terakhirnya, kemudian menyambar air minum Jia yang masih ada di tempat yang sama saat gadis berambut sebahu itu terakhir meletakkannya.
"Lah kok punyaku diambil sih?" Pekik Jia, hingga Yuna yang baru akan membuka botol air mineral itu tersentak kecil.
"Kaget anju. Minta ya," ujarnya sembari meringis.
"Nah gitu dong ijin dulu," respon Jia, sangat jauh dari yang dibayangkan Yuna dalam kepalanya. Ah tapi, masa bodoh, yang penting dia sudah dapat izin.
"Ah, makasih. Yuk balik," ajak Yuna sambil menyodorkan air mineral yang sudah ia minum tiga tegukan pada pemiliknya. Si empunya air minum hanya mengangguk kemudian berdiri.
Jia menengok lagi ke arah laki-laki yang tadi sedang duduk di depan bunga mawar, yang dirinya bilang biasa saja itu. Jarak mereka sebenarnya tidak terlalu jauh, sekitar delapan meter. Jia memfokuskan pandangannya pada laki-laki itu, menelisiknya secara diam-diam.
Tenang, dia tidak akan menabrak sesuatu di depannya walau tidak melihatnya secara fokus.
Jia sontak memalingkan wajahnya ke arah lain, ketika laki-laki yang barusan ia teliti itu menoleh padanya. Dia malu sekali, hingga Yuna bertanya padanya, "kenapa sih?"
Yang ditanya hanya menggeleng, padahal kupingnya benar-benar panas karena malu. Hanya Jia dan Tuhan yang tahu. Memangnya siapa yang mau memegang daun telinga orang lain tanpa sebab?
"Gak papa kok."
Jia sedikit menunduk, namun kemudian memberanikan dirinya lagi untuk menengok laki-laki tadi. Mata mereka bertemu. Gadis itu ingin memalingkan wajahnya lagi, tetapi matanya tertahan pada manik biru safir nan indah laki-laki itu. Ia terpaku selama tiga detik kemudian fokus lagi pada jalan. Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat, dengan wajahnya yang bersemu. Ia cepat-cepat menundukkan wajahnya, malu jika sampai orang melihat wajahnya semerah tomat sekarang.
'Matanya, cantik banget.'
to be continued
..
.What do you think 'bout this chapter? 😂
KAMU SEDANG MEMBACA
The Truth Untold
Fantasy"Jika aku dulu punya sedikit keberanian, apa semua akan berbeda sekarang? Saat ini, yang bisa aku lakukan adalah merawat bungamu supaya kau bisa bernapas seperti biasanya." [A SHORT STORY]