7. Can't Believe

13 5 1
                                    

Song recommendation:
The Truth Untold (전하지 못한 진심)
by BTS ft. Steve Aoki

Happy Reading

--oOo--

Dua bulan lebih telah berlalu, tanaman mawar putih itu mulai mekar. Kelopaknya benar-benar cantik, serius.

Luke tersenyum puas ketika memandangi bunga-bunganya tumbuh subur. Ia tinggal menunggu gadisnya datang. Namun, lima bulan terakhir ini dia tidak datang mengambil bunga mawar merah yang ditanam di samping mawar putih itu. Oh, mungkin ia sudah menanami ladangnya lagi, sehingga ia tak perlu memetik bunga disini.

Tunggu sebentar, jadi yang dilakukan Luke selama ini sia-sia?

Luke memikirkan hal itu sekarang. Ia ingin mengunjungi gadisnya, namun ia juga ingin melihat reaksi gadis berambut pendek itu ketika menemukan bunga mawar putih itu. Luke bahkan tertawa meskipun hanya membayangkannya.

***

Sampai hari ini, dia masih menunggu gadisnya kembali. Bukankah hari ini adalah ulang tahunnya yang ke-19?

Luke benar-benar menunggu Jia kembali selama itu.

Rasa penasaran akan kemana perginya Jia akhirnya merobohkan pendiriannya untuk menunggu lebih lama lagi. Hei, lagipula ini sudah sangat lama.

Ia terbang menuju desa tempat gadis itu tinggal. Tak lupa ia mengenakan topengnya. Pertama, ia mengunjungi rumah Jia. Namun ia mendapati pintu dan jendela rumahnya tertutup rapat. Oh, ini masih pukul 10, Jia tentu belum pulang. Luke akhirnya memutuskan untuk menunggu.

.
.
.

Sekarang sudah pukul dua siang, namun yang ditunggu-tunggu tidak kunjung menampakkan batang hidungnya.

"Apa dia mampir untuk mengambil bunga? Mungkin saja."

Tanpa pikir panjang, Luke langsung melesat terbang. Harapannya ia dapat melihat gadis itu sesegera mungkin.

Tak butuh waktu yang lama, Luke sudah sampai di huniannya. Ia menggunakan kecepatan tinggi, dan itu benar-benar menguras tenaga. Sesampainya kakinya di tanah, ia terengah-engah.

"Dimana dia?"

Luke tak mendapati siapapun disana kecuali dirinya sendiri. Dan kemudian terbesit satu tempat yang belum ia datangi.

Pemakaman.

.
.
.

Luke berlari sekencang-kencangnya, tak peduli kakinya yang sakit karena berulang kali menginjak batu di telapak kaki polosnya tanpa alas kaki. Dia pikir terbang itu melelahkan, jadi ia memilih berlari. Namun, bukankah berlari juga membuang tenaga? Entahlah, suka-suka Luke saja.

Ia memasuki pintu pemakaman, jadi kecepatan larinya ia kurangi. Bisa dibilang sekarang Luke berjalan, sambil terengah-engah.

Raut wajahnya berubah ketika ia tidak menemukan siapapun di area pemakaman itu, namun maniknya menangkap sesuatu yang janggal.

"Itu makam siapa?"

Luke mendekati makam itu, dan nama yang tertulis di nisan marmer membuat matanya terbelalak.

Jiana Johnson

Born : 2001 July 12
Die : 2020 January 22


Luke benar-benar tak bisa memercayai ini. Ia masih berusaha berpikiran positif sampai ia melihat nisan bertuliskan nama 'Patrick Johnson' dan 'Evita Margaret' di samping makam yang ia temukan.

Tak lama, ia menyadari ada seseorang yang datang. Luke segera bersembunyi dibalik pohon besar tak jauh dari makam itu.

"Yuna?"

Luke tidak salah lihat. Itu Yuna, sahabat Jia. Postur tubuhnya khas sekali. Ia datang dengan membawa keranjang bunga tabur.

"Hai Ji. Hai om, tante."

Yuna langsung menaburkan bunga yang ia bawa, pertama-tama di makam Jia, dan selanjutnya di makam kedua orang tua Jia. Selepas ia menaburkan bunga terakhir, ia kembali di samping makam Jia.

"Ji, aku kangen. Kamu pergi cepet banget sih. Katanya... mau masak bareng."

Yuna menahan air matanya mati-matian, kemudian ia memejamkan mata dan mengaitkan kedua tangannya.

Luke yang melihat pemandangan seperti ini menggeleng tak percaya.

"Ini tidak mungkin. Tidak, ini tidak mungkin..."

.
.
.

Luke terbang pulang dengan air matanya yang masih terbendung.

"Jia...

tidak mungkin..."

Ia masih mencoba menyangkal kenyataan.

Sesampainya di rumah tuanya yang kecil nan lusuh itu ia membuka pintu dengan sorot mata kecewa dan putus asa, kemudian menutupnya rapat-rapat lagi.

Ia melepas topengnya, membantingnya ke tanah hingga topeng kayu bercat hitam itu pecah menjadi tiga bagian. Seketika, air mata yang ia bendung selama perjalanan pulang tumpah. Wajahnya pun tampak. Di wajah bagian atas laki-laki itu terdapat bekas luka cakaran. Sangat jelas dan sepertinya dulu lukanya cukup dalam. Luke sebenarnya juga tak tahu kapan ia mendapatkannya.

"AAAAAAAAAA!!!" Luke berteriak sembari mengacak-acak rambut frustasi. Ia membanting apapun yang ada di dekatnya, kecuali ramuan-ramuan bunganya.

"Mengapa?!!!" Teriaknya sembari menatap langit-langit rumah.

Ia mengatur napasnya, mulai menurunkan pandangannya, dan menangis dengan sedikit lebih tenang. Kemudian ia menyandarkan punggungnya di dinding, lalu punggung bidang itu merosot dan Luke terduduk.

"This is my fault. I'm wrong." Ia menangis tersedu-sedu lagi.

"Jika saja aku punya keberanian untuk berdiri di depanmu dan mengungkapkan perasaanku, apa semuanya akan berbeda sekarang?"

"I'm sorry Ji. Aku tidak bisa membahagiakanmu padahal aku sangat mencintaimu. Cara mencintaiku, bodoh ya?" Ucapnya sambil menertawakan dirinya dalam tangisannya.

"Sekarang, berbahagialah di sana, selalu, bersama keluargamu.

But...

but...

but...













"but I still want you Jia."







THE END
.
.
.

울고 싶지 않아요 ㅠoㅠ (tidak mau menangis ㅠoㅠ)

The Truth Untold Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang