Happy Reading
--oOo--
Kedua gadis itu-- Jia dan Yuna, sudah sampai di kelas. Jia sedari kembali dari kantin masih menunduk. Entah mengapa otaknya masih memutar memori ketika dua pasang manik berbeda warna itu saling bertemu. Jia menutup wajahnya, dan malah berteriak, "aaaa!"
"Anjir, kamu kenapa dah?" Yuna bertanya dengan heran kemudian melanjutkan kalimatnya saat Jia membuka wajahnya dan menoleh padanya, "diliatin." Jia langsung menoleh ke samping kanan kirinya, memastikan yang dikatakan Yuna.
Gadis yang sedang linglung itu menurunkan lagi wajahnya ke meja, namun ada sekat telapak tangan antara wajah dan papan kayu keras itu. 'Aku ini kenapa sih?' Jia bertanya dalam hatinya. Hari ini dia aneh sekali, benar?
Yuna menyenggol lengan atas sahabatnya yang sedang menyembunyikan parasnya itu, "gurunya udah masuk, buruan keluarin bukunya."
Gadis dengan rambut lurus sebahu itu segera menegakkan kembali badannya, mengusap kasar wajahnya, lalu mengambil buku paket dan buku pendamping lainnya. Laki-laki itu benar benar membuatnya hilang akal.
.
.
."Yun, kamu tau gak sih cowok yang tadi duduk di bangku taman itu?" Jia benar-benar penasaran.
"Hah? Cowok yang mana?" Yuna malah balik bertanya.
Oh ya, omong-omong ini sudah istirahat kedua, jadi berbicara sudah tidak dilarang.
"Tadi loh yang pake jaket, di deket bunga mawar pink ."
"Gak ada orang njir di situ. Aku tadi gak liat apa-apa." Jelas Yuna. Ia berani sumpah ia tak melihat apapun selain bunga mawar merah muda itu.
"Tadi beneran ada. Serius."
"Kamu ngomong apa sih? Jelas-jelas di situ tadi gak ada orang, " Yuna tak mau kalah. "Salah liat kali kamu," finalnya.
Jia hanya meneguk ludahnya samar. Apa benar ia salah lihat? Namun itu begitu nyata. Bahkan mereka sempat berkontak mata. Apa dia berhalusinasi? Tidak-tidak. Itu nyata.
"Aku mau beli bakso, cus."
Jia yang masih melamun tersentak kecil, kemudian hanya mengangguk, lalu bergegas mengikuti Yuna yang sudah berjalan lebih dulu.
.
.
."Kamu dijemput?" Tanya Jia.
"Iya, sorry ya gak bisa ngebus bareng. Duluan ya." Yang ditanya-- Yuna, hanya melambaikan tangan, sebagai tanda perpisahan. Jia hanya membalas lambaian tangan itu, sembari duduk di atas kursi halte bus.
Jia menunggu bus selanjutnya datang, sembari mengayunkan kaki ke depan dan belakang. Semilir angin siang hari membuat surai gadis itu berkibar kecil.
"Hai Ji," sapa seorang laki-laki, yang bisa dibilang tampan. Dialah primadona sekolah, Daniel. Pintar memang bukan dirinya, miskin juga tidak, bahkan bisa dibilang dia anak orang mampu. Dia bisa dibilang nakal, karena sering bolos dan ugal-ugalan saat naik motor di luar sekolah. Dia memang seorang anak juragan tanah, tunggal pula.
Daniel adalah idaman seantero sekolah itu, maksudnya hanya idaman para perempuan yang juga sedikit, hm, kalian tau maksudnya.
"Paan sih Dan, ganggu aja," ketus Jia. Tidak suka.
"Aku anterin yok."
"Ogah. Dah sana pergi."
Baik sepertinya Jia termasuk salah satu perempuan yang tidak mengagumi laki-laki yang satu ini. Yang tidak suka memang hanya minoritas. Selain itu, siapa yang mau dibonceng dengan jok motor licin dan mengebut seperti yang dilakukan Daniel kala pertama kali Jia pulang bersamanya? Mungkin sebagian orang menganggap itu seru, tapi tidak bagi Jia. Jantungnya serasa mau copot belum lagi rasa risih karena tubuh bagian depannya terus bersentuhan dengan punggung bidang laki-laki itu saat mengerem, jika saja Jia tidak menahan badannya dengan tangannya.
Dulu Jia memang pernah mengaguminya, namun dia menyesal karena dia bukan laki-laki baik. Kalian tahu maksudnya.
Tak lama, bus yang ditunggu pun sampai.
"Busnya dah dateng. Aku mau pulang." Jia mengatakannya sembari melenggang pergi dari samping Daniel, masuk ke dalam bus yang terbuka secara otomatis saat berhenti, kemudian tertutup lagi saat semua penumpang sudah naik.
Entah berapa kali Daniel mencoba mendekati Jia. Sudah banyak kali ia mencobanya, dan sepertinya kali ini dia angkat tangan.
.
.
.Sebenarnya rumah Jia masih agak jauh dari halte tempat ia turun, namun ini satu-satunya halte terdekat. Mengapa tidak antar-jemput? Pasti banyak dari kalian yang bertanya-tanya. Itu karena Jia termasuk anak dari keluarga tak mampu. Ayahnya sudah meninggal, baru satu tahun yang lalu, karena penyakit jantung. Sedangkan ibunya bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dulu ayah dan ibunya memang bekerja, bertani dan uang penghasilannya pun pas-pasan. Sekarang ibunya harus banting tulang sendirian untuk mencukupi dirinya juga gadis semata wayangnya.
Jia masih menyusuri jalan, namun ini jalan yang berbeda. Ia sengaja melewati jalan kecil, yang ia kira searah ke rumahnya dan mungkin bisa mempersingkat waktunya pulang. Namun sepertinya salah, ia malah menemukan rumah kecil di hadapannya, sama saja jalan buntu.
Ia sedikit kecewa.
Biasanya sepulang sekolah ia akan memetik sayur kemudian menjualnya ke pasar. Sekarang banyak ibu rumah tangga yang berbelanja siang hari. Jia pun tak tahu alasannya. Mungkin ia nanti tidak akan ke pasar, ia sudah berjalan cukup jauh. Pasti membutuhkan waktu yang cukup lama untuk kembali ke jalan yang biasanya ia lewati.
Tiba-tiba, netranya menangkap sebuah objek yang begitu indah, cantik, dan merah merekah.
Itu adalah mawar merah.
"Astaga ini bagus banget," Jia menghampiri pohon bunga mawar itu, yang sebenarnya ada beberapa. Pohon-pohon mawar itu tertanam di sebuah lahan di depan rumah kecil tadi. Sepertinya rumah itu kosong.
"Besok aku mau ke makam ayah, aku petik satu gak masalah kan ya? Kayaknya gak ada yang punya." Ia kemudian memilih salah satu dari bunga terbaik yang ada di antara kuntum-kuntum mawar itu. Akhirnya matanya fokus pada sebuah bunga yang elok, kelopaknya sempurna menurutnya. Tangannya bergegas mengambil cutter kecil yang selalu ada di dalam tasnya, memotong tangkainya agak panjang supaya sampai pada air yang tingginya tinggal setengah botol. Ia memasukkan tangkai bunganya ke dalam botol air mineral yang ia beli tadi supaya tidak layu.
Jia tak tahu, bahwa sedari tadi ada sepasang netra yang memandanginya dari dalam rumah itu. Sorot netra birunya tajam menatap Jia yang mulai meninggalkannya halaman rumahnya. Dia marah, sampai menggertakkan gigi, namun terdengar samar.
"Bungaku..."
to be continued
.
.
.Sorry if this very boring.
//sungkem//
🙇
KAMU SEDANG MEMBACA
The Truth Untold
Fantasy"Jika aku dulu punya sedikit keberanian, apa semua akan berbeda sekarang? Saat ini, yang bisa aku lakukan adalah merawat bungamu supaya kau bisa bernapas seperti biasanya." [A SHORT STORY]