3. I'm Wrong

19 5 3
                                    

Happy Reading

--oOo--

Laki-laki berjaket itu segera keluar dari gubuknya ketika melihat gadis yang sudah memetik bunganya sudah benar-benar pergi dari halaman rumahnya.

"Astaga dia benar-benar..."

Ia mendecak frustasi. Bunga favoritnya yang sudah ia lindungi dan ia rawat puluhan tahun itu dipetik oleh seorang gadis remaja. Ia bahkan mengambilnya tanpa dosa. Tidak sadarkah dia jika ada guardian yang menjaga bunga ini dengan susah payah? Apa tidak kelihatan bahwa bunga ini begitu terawat?

Daripada marah-marah tidak jelas seperti itu, akhirnya dia memilih untuk menyembuhkan batang bunga yang terluka itu. Ia memang tak bisa menumbuhkan bunganya lagi, dia hanya seorang guardian.

Guardian Rosa itu sudah selesai menyembuhkan bunganya, ia kemudian membuang napas kasar.

"But what will she do with that red rose?"

***

Minggu pagi itu, Jia pergi ke makam ayahnya. Tentu saja dengan membawa bunga mawar merah yang ia petik kemarin. Bunganya masih berada di botol yang sama.

"Pagi, ayah," sapa Jia ke makam berkeramik hitam dengan nisan marmer yang bertuliskan nama, tanggal lahir, serta tanggal wafat ayahnya. Ia mengelus keramik itu, sembari membersihkannya dari debu dan daun-daun kering yang ada di atasnya.

Ia mengambil bunganya dari botol, lalu menaruhnya di atas makam ayahnya, kemudian mengatupkan sepuluh jarinya serta memejamkan mata. Ia berdoa.

Tak lama, Jia membuka mata lagi, kemudian berdiri, menatap nisan itu sejenak dengan tatapan sendu, "yah aku pulang ya." Ia melambaikan tangannya kecil pada kubur yang membujur ke utara itu. Pamit.

Jia berjalan menuju pintu pemakaman, dengan air mata yang sedikit menggenang di kedua maniknya.

"Oh, dia sudah tidak punya ayah ya," gumam seseorang yang sedang berdiri di atas batang pohon yang besar. Tudung jaketnya menutupi setengah wajah bagian atasnya, masih dengan topeng setengah wajahnya. Hanya mulutnya yang dapat terlihat.

"Mungkin aku salah sudah marah besar padanya."

***

"Yun, aku mau ke kantin. Ikut gak?"

"Kuy, laper aku."

"Kamu ma laper setiap saat."

Orang yang dimaksud hanya tertawa renyah, kemudian mereka berjalan menuju kantin. Mereka mengobrol sepanjang perjalanan, hanya hal-hal kecil yang membuat mereka berdua tertawa.

"Aku yakin sebentar lagi dia datang," laki-laki itu berbicara sendiri dengan tudungnya yang masih menutupi wajah, dan topeng yang juga masih menempel di wajahnya. Kali ini dia tidak berdiri di atas pohon, namun di dekat tembok pagar sekolah menengah atas itu, menyandarkan punggungnya pada pagar tembok di belakangnya. Ia mengamati gadis yang sedang dalam pengawasannya itu.

"O my God! Ada coklat!" Pekik Jia, namun tidak terlalu keras. 

"Santuy kali Ji," yang satunya lagi menyenggol lengan Jia. "Aku tahu kamu suka coklat, tapi gak usah lebai kalik."

Coklat memang jarang dijual di sini, mungkin hanya ada sebulan sekali di kantin ini, jumlahnya pun tidak ada setengah pelajar di sekolah. Jadi, Jia termasuk beruntung bukan?

"Oke-oke, maaf." Jia kemudian mengambil sebungkus coklat, lalu membayarnya.

"Ayo duduk sana, udah kan Ji?"

"I think so."

Mereka kemudian duduk di salah satu dari belasan kursi kantin yang disediakan sekolahnya.

'She likes chocolate.'

Tulis laki-laki bertudung yang sedang membawa notebook kecil di tangannya. Ia memang selalu  membawanya, namun jarang digunakan olehnya, dan akhirnya ia menulis lagi setelah berpuluh-puluh tahun ia tidak menorehkan tinta hitam di atas lembaran kecil buku tua itu.

"Ini enak banget asli." Sepertinya gadis bernama lengkap Jiana Johnson itu benar menikmati coklatnya.

"Minta dong," Yuna sepertinya berhasil tergoda juga oleh coklat yang tampak sedap itu.

"Beli, sendiri."

"Dasar! Sukanya bikin pengen tapi gak mau ngasih. Pelit ih."

"Biar," tawanya pecah kemudian.

'She's stingy.'

Kemudian guardian itu tertawa kecil, memandangi kalimat yang ia tulis barusan. Ia menambahnya kata 'only for chocolate maybe.'

"Sepertinya ia tak seburuk yang aku pikirkan."

.
.
.

Jia bergegas pulang, tempo hari yang lalu ia dimarahi karena pulang terlambat.

Dia terus menyusuri jalan trotoar yang biasa ia lewati. Hari itu memang sial, sudah dikira salah lihat, hingga salah jalan, dimarahi pula.

Baik, Jia akui dia memang salah.

.
.
.

"Ibu, aku pulang," ujar Jia ketika memasuki huniannya.

"Petik sayurnya di kebun. Cepet! Bentar lagi pasar rame." Titah perempuan berkepala lima itu pada gadisnya.

"Iya buk, sebentar. Aku ganti baju dulu," kata gadis berambut pendek sebahu itu sembari melepas sepatu sekolahnya yang sudah mulai koyak.

Ibunya hanya diam, tangannya bergerak mengaduk pupuk untuk tanaman-tanaman di kebunnya.

.
.
.

"Selada, kembang kol, tomat dan bawang bombay, baiklah." Jia memberi semangat pada dirinya saat mulai memasuki kebunnya, dengan keranjang di tangan kirinya.

Dia mulai memanen sayur-sayur itu satu per satu.

"Oh ini kebunnya, hmm," guardian itu bergumam, "lihat, keringatnya banyak sekali," katanya lagi, ketika manik birunya melihat bertetes-tetes peluh turun dari wajah gadis itu.

"Wait, siapa nama gadis itu?" guardian berjaket biru navy kuno itu berusaha mengingat sesuatu.

"Ah, Jia! That's her name."

Jia menoleh sejenak ketika ia mendengar namanya disebut, meski hanya terdengar samar. Ia tampak kebingungan, namun akhirnya tidak ambil pusing dan kembali pada pekerjaannya.

Guardian laki-laki itu sontak menutup mulutnya sendiri, lalu menepuknya karena berbicara terlalu keras. "Gobloknya diriku," ujarnya sembari menepuk jidat.

Tak lama, kegiatan memanen sayur itu selesai, Jia langsung berjalan ke depan rumah dimana di situ terdapat sepeda tua peninggalan ayahnya, yang sekarang digunakan ibunya untuk pulang pergi pasar.

Jia meletakkan sayuran itu di keranjang yang ada di boncengan belakang. Kemudian, ia menaiki sepeda itu dan mengayuhnya.

"Ibuk aku berangkat!"

"Ya!"

Guardian itu pun menyusul Jia yang sudah pergi lebih dulu.






"Okay, let's fly again, Luke."


to be continued
.
.
.

Now yall know his name😂

The Truth Untold Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang