5. A Guardian?

14 5 4
                                    

Happy Reading

--oOo--

Di siang hari yang cukup terik ini, Jia sengaja masih tinggal di kelasnya bersama Yuna. Tadi pagi Jia sudah membuat Yuna benar-benar penasaran tentang apa yang akan diceritakannya.

"Siapa? Siapa?" Sepertinya Yuna benar-benar sudah tidak bisa membendung pertanyaan yang sudah berputar di kepalanya sejak pagi.

"Dia pake jaket, lagi munggungin aku gitu, tudung jaketnya juga dipake, jadi gak keliatan. Dia berdiri di deket meja belajarku. Rasanya itu nyata, tapi gak yakin juga, jadi aku sebut itu mimpi."

Yuna diam sejenak, mencerna apa yang barusan dikatakan sahabatnya, kemudian membuka suara,

"Kamu, tau guardian?"

.
.
.

Luke, saat ini sedang memikirkan sesuatu. Sesuatu yang aneh dalam hatinya. Ia merasakan sensasi aneh, yang selama hidupnya belum pernah dirasakan olehnya.

Oh iya, saat ini sedang duduk di atas batang pohon dekat rumah gadis pencuri itu. Biasanya Jia sebentar lagi pulang, jadi ia menunggunya.

Rasa senang, takut, malu bercampur menjadi satu sehingga menciptakan gejolak aneh saat ia membaca ulang semua yang sudah ia tulis dalam notebook tuanya. Namun, di sisi lain ia tenang saat melihat Jia.

Ia tak yakin perasaan apa ini, ia sama sekali belum pernah merasakannya.







"Is this, that called love?"

.
.
.

Jia sontak menoleh ke arah Yuna yang juga sedang men atasnya dengan intens.

"Guardian? Pernah denger sih, penjaga kan? Aku gak tau dia kayak gimana dan hal yang menyangkut itu."

"Iya, nama lainnya penjaga. Aku antara percaya dan gak percaya sih, tapi, dulu mamaku pernah cerita tentang guardian." Yuna menjelaskan.

"Sebenernya guardian itu gak cuma satu, mereka ada banyak dan berdampingan hidup dengan kita, manusia. Setiap guardian punya tugas masing-masing, utamanya sebagai penjaga." Yuna mengambil napas sejenak. "Yang diceritain mamaku itu, guardian mawar, katanya guardian itu yang paling terkenal karena kayaknya dia satu-satunya guardian dengan wajah buruk. Panggilannya, Guardian Rosa."

Jia masih menyimak, rasa penasarannya akan makhluk yang satu ini semakin menjadi-jadi, "terus-terus?"

"Ini menurut legenda yang diceritain turun temurun ya, katanya guardian itu bisa membuat bunga baru, yang sebelumnya belum pernah ada. Semua sih. Intinya semua guardian itu bisa membuat jenis baru dari hal yang mereka jaga. Kayak Guardian Rosa ini, dia bisa menciptakan bunga mawar dengan spesies baru."

"Apa, mereka abadi?"

Yuna mengambil napas dalam lalu menghembuskannya lagi. "Aku gak tau, tapi yang pasti umur mereka sampe ratusan tahun, dan mereka menjaga genus yang menjadi tanggungannya. Kamu tau genus 'kan? Inget pelajaran IPA. Marga."

Jia memutar otaknya sejenak, dan ia berhasil mengingat genus, atau yang biasa disebut marga itu.

"Ho'oh terus?" Jia masih bertanya.

"'Terus-terus', aku ngerti sampe situ doang," ucap Yuna ketus. "Tapi, ya Ji, aku rasa laki-laki yang kamu liat itu, guardian. Beberapa orang emang bisa liat dia."

"A masak?"

"Ih aku gak tau juga, aku juga gak percaya sama begituan. Oh iya, hampir lupa, kata mama guardian juga bisa jatuh cinta sama manusia."

Jia hanya mengangguk, kemudian melontarkan pertanyaan lagi, "kenapa kamu bisa mikir itu guardian?"

"Gak tau, kepikiran aja hehe," katanya sambil menaikkan bahu.

"Kalo bener itu guardian, kenapa dia ngikutin aku?" Jia benar-benar penasaran.

"Pernah punya masalah gak sama dia? Atau jangan-jangan kayak yang aku bilang tadi, dia suka ma kamu," Ucap Yuna sembari tertawa.

"Hm, nggak ada masalah, tapi masak dia suka aku, kenapa?"

Sepertinya Jia lupa dengan insiden pencurian bunga kala salah jalan kemarin.

"Gak tau ihhhh. Udah ayo pulang Ji." Ia menggendong tas punggungnya.

"Yaudah, ayo pulang. Kalo telat banget-banget nanti aku dimarahin ibuku. Ngebus kan?"

"Yoi."

.
.
.

"Ibuk, aku pulang."

Jia mulai masuk ke dalam rumah dan tak mendapati ibunya menjawab dari dalamnya.

Ditengoknya ibunya di dalam kamar, masih dengan memakai seragam sekolahnya. Ia mendapati ibunya masih tertidur dengan posisi sama seperti tadi pagi. Ia tak tega membangunkannya karena ibunya terlihat pucat, mungkin sakit. Begitu pikirnya.

"Buk..."

Jia menyentuh tangan ibunya yang tidak tertutup selimut, namun tiba-tiba berdiri karena suhu dingin yang kontras ia rasakan ketika ia menyentuh lengan ibunya.

Ia mundur beberapa langkah sambil menutup mulutnya tak percaya. Ia mendekati tubuh ibunya lagi untuk memastikan bahwa apa yang dirasakan indera perabanya tadi salah.

Itu bukan mimpi, tangan ibunya benar-benar sedingin es!

Jia masih tak mau percaya, kemudian jari telunjuknya ia letakkan di bawah lubang hidung ibunya, namun tak ia rasakan embusan angin setelah beberapa detik ia meletakkannya di sana.

"Buk," Jia memeluk tubuh ringkih ibunya yang sudah terbaring kaku di tempat tidur, sambil menangis.








"Jangan tinggalin Jia."

to be continued
.
.
.


Gimana?
Minta review-nya ya tentang bab ini.

The Truth Untold Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang