4. The Flower Seller Boy

15 6 1
                                    

Happy Reading

--oOo--

"Bibi, ini sayur hari ini ya," tutur gadis yang memakai rok berwarna coklat selutut sembari memindahkan sayur dari keranjang sepedanya ke meja dagangan bibi penjual sayur langganannya.

"Iya." Ibu itu melihat keranjang sayur yang dibawa Jia, "sedikit aja, kemarin hanya laku sedikit, sisanya sudah busuk jadi bibi buang." Ibu itu merogoh saku yang terjahit di bagian depan celemek masak yang dipakainya, "ini uangmu."

Jia pun menerima uang hasil penjualan kemarin, tanpa keberatan dan curiga karena memang jumlahnya hanya sedikit. Jika dikira-kira, uang itu hanya cukup untuk membeli setengah kilogram beras dan empat butir telur, serta uang sakunya untuk sekolah, itu pun tak banyak.

"Terima kasih, bibi, aku pulang ya."

"Ya, hati-hati."

'She's a polite girl'

Luke menulis lagi dalam buku catatan kecilnya, kemudian menatapnya sejenak. Saat ini dia sedang berdiri di atap rumah, atau mungkin sebuah kios? Entahlah, tidak ada spanduk di dinding luar bagian depan bangunan itu. Intinya dia berada di atap sebuah bangunan.

"Mungkin aku harus berjalan, dia belum jauh," katanya sembari memasukkan buku dan penanya ke dalam saku dalam jaketnya. Ia turun dari atap tanpa suara, di tempat yang sepi.

"Terbang itu melelahkan."

.
.
.

Jia masih mengayuh sepeda tuanya, menyusuri jalan pasar yang mulai ramai. Riuhnya pasar terdengar sangat jelas di telinga Jia, mulai dari pedagang yang menjajakan dagangannya dan ibu-ibu yang sedang menawar harga barang.

Ia memarkir sepedanya, agak pinggir, ketika dilihatnya seorang anak laki-laki dengan baju compang-camping yang lusuh terlihat duduk bersandar pada dinding bangunan di belakangnya. Jia mendekati anak itu, kemudian ikut berjongkok.

Bocah laki-laki itu tampak sangat lusuh, kulitnya kusam dan rambutnya yang agak panjang sedikit gimbal. Menyadari kehadiran seseorang, bocah itu menoleh ke arah seorang gadis yang ada di dekatnya. Dengan tatapan sayu anak itu menatap Jia, kemudian bersuara, "kakak mau beli bunga?" Anak itu juga menatap Jia dengan penuh harap, semoga perempuan di depannya ini membeli bunganya.

Jia menurunkan pandanganya pada bunga yang dipegang anak itu. Bunganya tampak sudah tidak segar, sudah layu. Namun, anak itu seperti menaruh harap padanya, sehingga hatinya menaruh iba pada anak itu.

Gadis bersurai hitam itu tersenyum sembari mengelus rambut anak laki-laki itu, "kamu udah makan?" Belum anak itu menjawab, ia merogoh tas kecil yang dibawanya, yang berisi uang hasil penjualan kemarin, yang sebenarnya itu adalah jatah uang sakunya. Diambilnya juga roti yang tadi ia beli ketika di sekolah.

"Kakak, hanya punya ini. Maaf ya, cuma ada setengah," katanya sembari memberikan roti yang sudah ia makan separuh di sekolah tadi. "Dan ini, untuk beli permen ya." Jia menyodorkan uangnya.

Anak itu mengambil roti dan uang itu menggunakan tangan kanannya dengan dengan sedikit takut, namun anggukan Jia memberikan isyarat 'tidak apa-apa'.

Setelah ia mengambil roti dan uang itu, bocah itu melihat bunga-bunga yang ada di tangan kirinya, "kakak, mau beli berapa bunga? Ini, uang kakak lebih dari cukup untuk membayar semua bunga ini."

"Kamu mau kasih semuanya ke aku?" Tanya Jia, dan anak itu mengangguk mantap.

"Baiklah, berikan padaku."

Anak itu kemudian memberikan seluruh bunganya kepada Jia, ada sepuluh tangkai. "Terima kasih kak, akhirnya hari ini aku bisa makan."

Jia hanya menatap wajah polos anak itu yang mulai memakan roti isi selai coklat dengan lahap. Ia mengelus puncak kepala bocah itu lagi, kemudian pamit, "aku pulang ya, anak manis. Sampai jumpa lagi." Jia melambaikan tangannya, diikuti dengan anak laki-laki itu yang tersenyum dengan gembira.

Jia kemudian pergi dengan mengayuh sepeda tua ayahnya. Senyum manis mengembang di bibirnya, ditambah dengan lesung yang menghiasi pipinya.

Luke mengawasi gadis yang sedang pergi menjauh itu di bawah sebuah tenda kios pasar yang masih tutup, masih dengan pena dan bukunya.
Ia menorehkan tintanya pada kertas tua bukunya, meninggalkan jejak sebuah tulisan di atasnya.

'She's a kind girl.'

"Yang tadi itu, benar-benar menyentuh ya..."

.
.
.

Malam itu, Jia sudah tertidur pulas. Ini memang sudah hampir tengah malam.

Guardian Rosa--Luke, yang sedari tadi mengikutinya sekarang duduk di jendela kayu tanpa tirai yang dibiarkan terbuka, sehingga cahaya bulan yang hampir bulat sempurna masuk ke kamarnya. Ia memandangi Jia yang sedang lelap itu.

"Siapa ya nama lengkapnya?"

Selepas mengatakan itu ia masuk ke kamar Jia, kemudian melihat buku tugas gadis itu yang tergeletak di meja. Cover depan buku itu tertulis nama lengkap pemiliknya.

'Jiana Johnson'

"Beautiful name," ujarnya, kemudian tangannya mulai menelisik kantong jaketnya, membuka buku itu dan menuliskan nama yang baru saja ia eja pada buku di atas meja itu.

Jia secara samar membuka matanya. Dia melihat ada seorang laki-laki memunggunginya dengan menggunakan jaket bertudung. Mungkin efek mengantuk berat, Jia tak menghiraukannya dan kembali memejamkan matanya.

"Kupikir aku harus pulang," kata Luke setelah selesai menulis pada notebook kecilnya.











"atau tidur bersamanya disini?"

to be continued
.
.
.

Dirty minded detected😆


The Truth Untold Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang