Dua

5.6K 421 15
                                    

Saat itu sebenarnya hari yang ditunggu-tunggu oleh Rangga. Hari ulang tahunnya yang ke-17. Hari dimana seharusnya ia merayakan dengan meriah bersama adik dan kedua orang tuanya. Hari yang selayaknya menjadi kenangan tak terlupakan karena mendapat pelayanan spesial di restoran bunda.

Kenangan hari itu memang tak terlupakan. Tapi, Rangga benar-benar ingin melupakannya. Karena kenangan itu menyakitkan. Saking sakitnya, ia bahkan membenci dirinya sendiri yang tidak bisa apa-apa.

Sudah terhitung dua hari sejak hari ulang tahunnya, sekaligus hari pemakaman sang ayah, Rangga tidak pernah keluar dari kamarnya. Atha kalang kabut dibuatnya. Nampan makanan yang ia sediakan di depan pintu kamar selalu tak bergeser dari tempatnya apalagi berkurang isinya. Tak ada lagi yang Atha pikirkan selain kesehatan fisik dan mental Rangga.

Selain itu, rasa bersalahnya mungkin lebih besar dari seluruh rasa putus asa Rangga. Semua rencana hari itu, Atha yang membuat. Dan semua berakhir mengenaskan. Ia tidak punya muka untuk menemui kakaknya, ataupun menangis di hadapan bundanya.

"Bunda..." gema panggilan Atha membuat Windy menoleh. Putra bungsunya itu duduk dengan wajah lesu setelah mengantar nampan makan malam untuk Rangga.

"Kakak mau makan?" tanya Windy sambil melanjutkan kegiatannya mencuci piring.

"Tetep nggak ada suara." Atha menidurkan kepalanya di atas meja makan. Tak lama kemudian ia merasa surainya dibelai dengan lembut oleh sang bunda.

Atha refleks mendongak, menatap Windy yang tersenyum dengan lingkaran hitam di bawah mata menghiasi raut lelahnya.

Manik Atha kembali memanas setelah sekian lama menahannya agar tidak berkaca-kaca. Dadanya sesak melihat kacaunya bunda dan kakaknya setelah kepergian ayah. Rasa penyesalannya kembali meluap, membuatnya ingin menghilang dari semesta.

"Adek istirahat dulu sana!" ucap Windy dengan suara seraknya sebelum berlalu menaiki tangga, yang Atha tebak akan menuju kamar Rangga.

Windy mengetuk pintu kayu di depannya dengan sabar. Ia menyerukan nama Rangga berkali-kali, namun tak ada yang berubah. Tak terdengar suara apapun dari dalam sana.

"Rangga, di sini cuma ada Bunda. Bukain pintunya, sayang!"

Beberapa detik berlalu, Windy tetap menunggu. Ia berharap putranya itu mau mendengarkannya kali ini.

Windy tahu benar bagaimana perasaan Rangga. Putranya itu sudah dari kecil menganggap ayahnya sebagai teman. Teman bermain, temannya berkeluh kesah, serta teman yang menjadi panutannya. Apapun pasti dia bicarakan dengan ayahnya. Dan kini setelah kepergian beliau, Rangga pasti kehilangan panutannya, temannya, tempat curhatnya, gudang impiannya, semuanya.

Lamunan Windy seketika buyar mendengar derit pintu di hadapannya itu terbuka perlahan. Separuh wajah Rangga terlihat mengintip, menatap bundanya dengan ekspresi datar. Wajah kusam berantakannya langsung disambut senyum cerah dari Windy. Ia sedikit menggeser nampan makanan di bawahnya, lalu melangkah mendekati Rangga yang tetap pada posisinya.

"Nggak ada siapa-siapa. Cuma Bunda di sini," ucap Windy saat mendapati Rangga melirik sekitar.

Rangga membuka pintunya lebih lebar, membuat Windy bisa melihat betapa berantakannya ruangan itu meskipun gelap. Rangga masih diam dan menunduk. Poni panjangnya menutupi pandangannya yang kini buram karena lelehan air mata.

"Bun..."

Windy segera menarik putra sulungnya itu dalam pelukan. Ia menepuk pelan punggung Rangga yang mulai bergetar. "Shh... Kenapa, hm? Coba sini cerita sama Bunda."

Rangga melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Windy. Isakannya semakin mengencang tanpa menghiraukan gema suaranya yang terdengar menyedihkan. Ia hanya ingin menumpahkan semua pada sang bunda, tanpa hadirnya orang ketiga.

Atharrazka [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang