Tiga

4.9K 411 13
                                    

Windy mengerjap saat merasakan sentuhan lembut milik telapak tangan yang sangat familiar. Tatapan teduh Anas menjadi yang pertama ia lihat pagi ini. Senyum tulusnya terbit ketika lagi-lagi ia sadar, bahwa hidup memang penuh cobaan, tapi suaminya itu selalu di sisinya, seolah menyadarkan kalau dia tidak pernah sendirian.

"Gimana perasaan kamu?" Lelaki yang mengenakan snelli itu bertanya sembari terus mengelus surai lembut istrinya.

"Sudah lebih baik," jawab Windy. Tangannya terulur mengusap permukaan perutnya yang kini telah rata. Ya, perasaannya sudah lebih baik dibandingkan waktu pertama kali menghadapi kenyataan bahwa ia keguguran calon anaknya yang kedua. "Rangga gimana, Mas?"

Anas menarik tangannya, lalu menghembuskan napas kasar. "Sejak kemarin rewel banget kalo disuruh makan."

Windy tersenyum kecut mendengarnya. "Dia pasti sedih kehilangan calon adiknya, Mas."

Anas membenarkan perkataan istrinya. Dari mereka berdua, Rangga yang paling terpuruk. Nafsu makannya menurun drastis. Anas sudah berusaha menghiburnya namun sia-sia. Harapan Rangga tidak mudah dibangun kembali.

Mendengar kata adik, entah mengapa pikiran Anas melayang, teringat pada pasiennya yang syukurlah sudah siuman kemarin lusa setelah sebulan koma. Usianya 7 tahun, korban kecelakaan hebat di persimpangan dekat rumah sakit.

Tidak heran kalau anak itu syok berat, karena ketika bangun, dia tidak bisa lagi bertemu orang tuanya. Sejak kondisinya mulai stabil juga dia tidak berhenti merengek mencari kakaknya.

Tapi yang membuat Anas bingung, selama sebulan ini, tidak ada satu pun baik seseorang maupun anggota keluarga yang menjenguk bocah itu. Saat ditanya di mana alamat rumah, dia menggeleng lalu menangis karena tidak tahu.

Anas sudah membicarakan soal pasiennya kepada Windy. Mereka miris melihatnya. Diumur yang masih begitu muda, ia telah menjadi yatim piatu karena sebuah tragedi yang pasti akan membekas dalam memorinya. Orang yang dipanggilnya kakak itu juga tidak ada tanda-tanda mencari keberadaannya, seolah olah dia telah dianggap tiada.

Karena merasa bertanggung jawab dan berhutang budi, Anas dan Windy berniat mengadopsinya, bahkan sudah terpikirkan jauh-jauh hari sebelum anak itu siuman.

"Win, kamu masih ingat anak itu?"

Windy menoleh pada suaminya yang kini tiba-tiba menampilkan ekspresi lebih berwarna. "Ingat lah, Mas."

"Dua hari yang lalu dia siuman. Namanya Atha. Atharrazka."

Beberapa detik Windy terkejut. Ia lalu memegang tangan suaminya. "Kamu mau kan, kalau dia jadi adiknya Rangga?"

Lelaki berwajah tampan itu balas menggenggam tangan istrinya. "Kalau kamu mau, kenapa aku nggak mau? Kita ajak dia bicara pelan-pelan. Aku yakin anak itu pasti mengerti."

Senyum Windy mengembang. Hatinya yang sempat hancur kini mulai tertata kembali. Membayangkan anak itu menjadi putra bungsunya, menjadi suatu penyemangat yang entah muncul karena apa.

"Ngomong-ngomong, Rangga di mana? Katanya ikut ke sini?" celetuk Windy. Pandangannya menyapu ke sekitar, namun tak mendapati keberadaan putra kecilnya.

"Loh? Tadi di belakang aku kok." Anas juga ikut celingak-celinguk karena baru sadar, Rangga yang tadi berjalan mengekori dirinya telah menghilang entah kemana.

Lelaki itu segera bangkit, menyiapkan kursi roda untuk Windy, kemudian keluar mencari Rangga. Setelah menyusuri lorong sebelum menuju ruang rawat Windy, barulah pucuk kepala bocah itu terlihat menyembul dari balik brankar seorang pasien.

"Mas, dia kan..."

"Iya. Itu Atha."

Sepasang suami istri itu perlahan mendekat, berusaha mendengar apa yang dua anak laki-laki itu perbincangkan.

Atharrazka [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang