Anggika Rinjani adalah satu dari 35 siswa di kelasnya yang tidak pernah banyak bertanya. Mata pelajaran yang di anggapnya sulit tidak pernah jadi alasan untuknya lebih banyak bicara. Ia lebih senang mencari pemahaman sendiri, memecahkan masalahnya sendiri.
"Gi pr matematika udah belum?"
Baru saja Gika masuk, Hanna sudah menanyakan pr yang menurutnya sulit. Jika mereka mau tahu. Gika juga tidak pernah paham dengan matematika. Selain mencari mean, median, modus, rumus yang lainnya Gika tidak benar-benar paham. Rumus-rumus tersebut selalu berkeliaran di luar kepalanya. Bahkan untuk menghitung perkalian pun Gika masih mengandalkan tangan sebagai media menghitung.
"Punyaku belum selesai" Gika duduk, hari masih pagi tetapi emosinya sudah tinggi. Tenaganya sudah terkuras setengah. "Aku tuh nggak paham sama trigonometri"
"Ya pantes lah, kamu kan maunya dipahami bukan memahami" Hanna tergelak, ia bergegas menuju meja Latif yang sudah penuh dengan orang-orang.
Sudah semalaman ia mengerjakan tugas. Tetapi hanya satu sampai tiga yang sudah selesai dari delapan soal yang diberikan Bu Rully pada kelasnya.
"Gi, pr Lo udah?"
Gika mendongak, melihat siapa yang mengajaknya bicara "belum baru tiga, itu juga gatau benar apa ngga"
"Sekali-kali Lo boleh nyalin punya gue. Tapi traktir gue makan ya?"
"Nyogok?"
"Kan harus ada timbal balik"
"Ya, terserah"
Latif hanya tertawa lalu pergi karena pengumuman upacara bendera akan segera dimulai.
"Gi bengong wae Lo, hayu upacara" yang ini Hasan. Lelaki jangkung yang sering mengajaknya ngobrol pakai bahasa Sunda. Ia bangga, karena berteman dengan Gika jadi memiliki banyak kosa kata bahasa yang menurutnya aneh dan terdengar lucu di telinga. Maklum sekarang Bandung sudah seperti Jakarta, lo-gue memang bahasa sehari-hari sekarang. Hasan yang dari Jakarta justru mau belajar bahasa Sunda.
"Oke"
Ini Gika di kelas, ia hanya berani berbicara santai dengan dua orang laki-laki, yang lainnya Gika terasa canggung. Mungkin hanya tersenyum, atau sesekali menimpali perkataan.
Awal menginjak semester tiga, Gika rasa tanggungjawabnya mulai besar. Yang sudah menjadi ranking satu berarti seterusnya harus punya ranking juga. Sebisa mungkin tidak boleh turun. Ambisi juga bayang-bayang wajah Bapak dan Ibu berseri-seri ketika memberitahu bahwa anaknya berhasil juara kelas.
Hingga saat ini semester tiganya hampir selesai. Ia semakin tidak yakin dengan usahanya. Kemampuannya hanya sedikit, tidak langsung paham dengan mata pelajaran yang di jelaskan guru di depan. Terlebih Gika paham, dirinya hanya memiliki modal rajin tanpa mau susah payang berbicara di depan, persentasi, bertanya, menejelaskan jika tidak ada teman yang paham, menjawab jika ada yang bertanya, menanyakan jika ada yang ditanyakan. Gika tidak aktif di kelas.
Sedikit demi sedikit pembicaraan dan informasi mulai mulai masuk di telinga.
"Gika biasa aja tuh, tapi ko juara kelas ya?"
Ini pernyataan pertama dari temannya yang sempat Gika dengar tanpa sempurna. Mungkin saja mereka salah bicara atau bukan Gika XI IPA 3 yang sedang dibicarakan. Tetapi, "udah jangan di dengerin Gi" ketika Hanna berbicara seperti itu berarti tebakannya benar. Gika yang ini ternyata, Gika yang memang tidak ada apa-apanya, Gika yang sekarang berdiri di barisan paling depan. Menghadap bendera dengan tatapan kosong juga pikiran penuh.
"Gika yang gue kenal itu penuh percaya diri" Hanna yang berada di belakang Gika berbisik.
"Tapi Gika yang kamu maksud itu sekarang lagi insecure Han"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mau Jadi Apa?
Teen FictionSemakin dewasa, semakin bertambahnya usia. pertanyaan-pertanyaan mulai bermunculan di kepala. Sebenarnya apa tujuan hidup di dunia? Apa sih yang kita cari? harta? tahta? cinta? Hidup yang sebenarnya itu seperti apa? Manusia yang manusia itu seper...