1 9 9 4 ; SURABAYA AKU PAMIT

56 27 7
                                    


"Sing sae-sae wae nggih wonten mriku. Lek sampun dugi cepet-cepetan kabari bapak lan ibu." Kata ibu dengan air mata dipipinya.

Jujur aku tidak tega berpisah dengan kedua orang tuaku. Tapi aku harus melakukannya. Aku harus menjadi orang sukses agar bisa membanggakan mereka.

"Nggeh bu." Jawabku sendu, lantas memeluk erat ibu.

Ah, bagaimana jika aku menangis di Jogja nanti. Pundak siapa yang akan ku jadikan sandaran. Sedang pundak ternyaman ku ada di Surabaya, ibu.

"Lho bapakmu ndi. Anak e kate budhal malah ora metu." Kata ibu.

Aku tak terkejut. Bapak memang tidak setuju jika aku menempuh pendidikan hingga ke Yogyakarta.

Kata Bapak "Untuk apa jauh-jauh Ke jogja, Surabaya kan juga ada universitas."

Bukannya aku tidak mau menuruti Bapak. Tapi masuk UGM adalah impian semua orang.

"Bapak! anak mu kate budhal" Teriak ibu keras memanggil Bapak. Tetapi Bapak tak kunjung keluar rumah. Sedang kendaraan yang akan mengangkut ku ke Jogja sudah lama menunggu.

"Bapakmu nggondhok. Cobi ngomongo karo dee." Kata ibu aku segera menuruti dan menyusul Bapak.

Ah ternyata Bapak di kamar menatap keluar jendela. Aku tau Bapak kecewa dan marah. Tapi,

"Pak kulo budal ndisek nggeh. Sepurane ora patuh ndek bapak. Tapi iki cita-cita kulo pak. Kulo Pamit rumiyin nggih pak." Kataku pelan. Bapak tak menyaut, ada rasa sesak didada. Ku tatap sendu punggung Bapak agak lama. Lantas segera berbalik.

Saat langkah ku hampir sampai dipintu kamar, suara Bapak mengentrupsi.

"Sek ndok." Aku segera membalikkan punggung. Kupandangi bapak, matanya memerah. Terdengar isakannya pelan.

Bahkan aku tak pernah melihat bapak menangis. Dan kini putrinya berani-berani nya membuatnya menangis. Maafkan aku pak.

"Bapak sayang awak mu. Sae-sae nang Jogja. Dadi wong sukses nggeh, anakku iyang." Aku meneteskan air mata, tak pernah membayangkan perpisahan sementara ini terasa begitu berat.

Waktu merubah impian, dulu aku bermimpi serumah dengan bapak dan ibu terus. Tapi sekarang aku bahkan akan hidup jauh dengan mereka.

"Nggeh Pak." Jawabku lantas berbalik untuk bersalaman pada Bapak.

Dari luar suara ibu sudah memanggil, lantas aku keluar kamar dan menemui ibu.

"Bu, aku pamit." Kataku sambil mengangkat tas pakaian Ku. Ibu mengangguk. Kemudian aku segera menaiki kendaraan yang terparkir dihalaman.

Saat kendaraan ku mulai meninggalkan rumah, air mata ku biarkan jatuh tak ku tahan. Saat kendaraan ku mulai meninggalkan perkampungan, semua terasa berputar pada kepala, pening dan menyesakkan.

"Surabaya, aku pamit. " Kataku pelan dengan air mata.

Ibu, bapak, dan surabaya.
Aku pasti rindu.

KASALARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang