Wajah Umi Aya yang kebingungan terlintas di benakku. Dengan kepayahan akibat kambuhnya asam urat pada kedua kaki, ia berjalan kesana kemari mencari jejak keberadaanku.
"Ya Allah, aku begitu menyesal karena sudah meninggalkannya terlalu lama. Maafkan Nura, Umi ...."
Tak mau memerlambat waktu, segera kaki ini tergerak untuk mencari keberadaan Umi Aya. Tempat pertama yang menjadi tujuan adalah toko yang tadi kusinggahi untuk membeli kacang tanah.
"Oh iya Dik, tadi memang beliau kemari, tapi udah langsung pergi lagi aja," kata penjaga toko yang sudah kukunjungi dua kali itu.
"Kemana ya Kang, perginya?" Tanyaku hampir putus asa.
"Wah, saya kagak tau, Neng."
Seketika itu perasaanku kambali kalut. Kucoba berjalan beberapa meter ke depan, sambil mata melirik ke kanan dan ke kiri. Setelah memastikan tidak ada umi di pasar sayuran, langkah kembali tergerak menuju pasar ikan.
Lama aku menilik ke semua sudut, bahkan juga bertanya pada beberapa orang yang tadi sempat kami temui, semua menggeleng.
Aakhirnya aku memutuskan kembali ke tempat dimana kami berpisah.
Qadarullah, di tempat inipun tidak sama sekali aku menemukan umi.
"Kemana sih, Umi pergi? Hiks ...."
Aku terduduk lemas pada emperan toko. Wajah tertunduk, dengan pelupuk yang mulai digenangi cairan.
Pulangpun aku nggak mungkin berani, bagaimana reaksi Mas Zayyan jika aku menghilang dan pulang meninggalkan umi sendirian di pasar, pasti hari ini juga aku diusir dari rumah itu. Sedang aku masih ingin berada di rumah itu, mengobati rasa rindu pada Mas Zain yang sebesar dunia ini.
Saat tengah larut dalam penyesalan seraya terus menunduk menekan-nekan kepala yang mulai berdenyut, sebuah suara membuat wajahku menengadah.
"Dicari kemana-mana, ternyata disini."
"Mas Rayyan?"
Degup jantungku mendadak tersentak-sentak.
"Ngapain ke kampung sebelah sampai ninggalin Umi sendirian di pasar? Umi itukan lagi sakit, tega Dik Nura ninggalin beliau sendirian?"
Melihatnya membentak dengan suara tinggi, air mata ini mulai berjatuhan.
"Jangan kasar-kasar sama istri, Dek. Nanti dia cari yang lembut, baru situ menyesal!" tutur seorang buruh kasar yang lewat di hadapan kami.
Aku? Seketika terlonjak, mata yang tadi berlinangan cairan, mendadak mengering.
'Istri katanya, sangat tidak sudi saya bersuamikan Mas zayyan! Yang pantas menjadi suami seorang Qamara Nura hanyalah lelaki penyayang dan lembut seperti Mas Zain!'
Kubuang wajah ke lain arah.
"Yuk pulang!" ajaknya dengan suara jutek. Jika tak mengingat bahwa lelaki di hadapanku ini adalah saudara kandung suamiku, sudah kuabaikan perintahnya.
"Umi sekarang dimana?" tanyaku tak kalah jutek.
"Di Mobil," jawabnya singkat sambil meneruskan langkah.
Kuikuti langkah lebarnya sambil mengucek-ngucek mata, sesuatu sepertinya masuk ke dalam bola mataku.
'Perih, Allahu Akbar!'
Sampai di pinggir jalan, Mas Zayyan dengan sigap menyeberang diantara laju mobil sambil merentangkan tangan memberi kode pada kendaraan yang tengah melaju, agar penggemudinya berjalan perlahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ya Zauji (TAMAT)
RomanceMenikah Siapa yang tidak ingin menikah Cobaan Hanya Allah yang tahu Karena Dia pemilik garis kehidupan. Kita tak pernah bertemu, pun saat ijab qabul itu terjadi. Kamu disana (Mesir) dan aku di sini, di Indonesia. Tapi kenapa, Allah terlebih dahulu m...