"Saya terima nikahnya Qamara Nura binti Akmal Putra dengan mas kawin seperangkat emas sepuluh gram dibayar tunai."
"Sah?"
"Sah."
"Sah."
Ucapan hamdalah pun terdengar saling bersahutan dari tiap-tiap lisan yang menghadiri acara pernikahan sedehana Nura bersama Dion.
Gadis yang tampak anggun dalam busana pengantinnya itu berbalik menghadap ke arah sang suami.
Dia berikan kesempatan bagi Dion untuk memasangkan cincin di tangannya. Setelah perhiasan mewah itu melekat dengan sempurna, mereka saling bertatapan sejenak.
Dari sorot mata, jelas sekali pancaran kebahagiaan yang tersirat dari tatapan Dion. Tapi, tidak sepenuhnya dengan Nura. Ada satu titik dari sudut hatinya yang terasa perih.
Dion meraih kedua jemari tangan Nura, matanya tajam menatap bola kecokelatan milik sang istri. Sebingkai wajah tertutup cadar putih itu, mampu menimbulkan desiran aneh di dada lelaki itu.
Dion semakin mendekatkan wajahnya hendak mencium kening Nura. Namun, suara salam yang terdengar dari pintu masuk membuat kedua mempelai itu terhenyak.
"Mas Zayyan?"
Jantung Nura berdegup kencang, matanya mengerjap cepat lalu ia menggeser tubuh sedikit menjauh dari Dion.
"Umi Nura, Nak Zayya? Alhamdulillah, mari silahkan masuk," sambut Umi Nura sambil bangkit dari duduknya.
Meski berjauhan, kedua netra Zayyan mampu menangkap pasangan yang masih duduk di atas sebuah karpet permadani.
Yang pertama kali ia lihat tak lain, adalah gadis bercadar yang nampak begitu anggun dalam kebaya pengantinnya.
'Nura,' lirih batinnya pelan.
Lenyap sudah harapan bisa duduk bersanding bersama gadis itu.
Sejujurnya, ia menolak memenuhi keinginan sang ibu untuk berhadir di acara bahagia Nura hari ini. Tapi, mengingat mungkin ini akan menjadi pertemuan terakhir mereka, lelaki itu menguatkan hati. Menepis rasa perih yang sedalam-dalam mengoyak batin.
Ia sudah menyatakan pada uminya, bersedia dijodohkan dengan salah satu anak dari teman sang ibu.
Patah hati? Ah, mungkin inilah alasan seorang Zayyan menerima perjodohan yang direncanakan sang ibu.
Dengan langkah gontai, Zayyan melewati ruang tamu hingga sampai pada ruang tengah. Ia ikut berbaur dengan Uminya juga tamu undangan lain, mengikuti acara sakral sederhana yang masih belum selesai dihelat.
Dion kembali merengkuh tangan Nura. Gadis itu terlihat canggung, sekali kesempatan melirik Zayyan yang terlihat menunduk.
Ah, betapa tak mengenakkan yang dirasakan gadis itu kini. Ingin ia menyudahi ritual adat yang sudah sepatutnya dilakukan setiap mempelai. Tapi apa daya, tak mungkin ia menolak apapun perlakuan Dion kini padanya. Sebab setelah ijab qabul, secara agama, Dion berhak melakukan apapun padanya.
Dion mendekatkan wajahnya, perlahan sebuah kecupan lembut pun mendarat di kening Nura. Gadis itu terdiam sejenak. Memaknai kecupan dari lelaki yang kini bergelar suami.
Seketika kenangan masa lalu melintas tanpa diminta.
"Alhamdulillah, sudah halal."
'Suara Mas Zain. Ya Allah.'
Nura merasa tengah dilempar ke masa lalu.
"Apaaan yang halal, Mas?"
"Setelah menikah, Allah menghalalkan seorang suami melakukan apapun pada istrinya. Sekarang, Mas 'kan sudah jadi suami dari Dinda Qamara Nura, karena jauh, Mas cuma bisa bilang, rindu ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ya Zauji (TAMAT)
RomansaMenikah Siapa yang tidak ingin menikah Cobaan Hanya Allah yang tahu Karena Dia pemilik garis kehidupan. Kita tak pernah bertemu, pun saat ijab qabul itu terjadi. Kamu disana (Mesir) dan aku di sini, di Indonesia. Tapi kenapa, Allah terlebih dahulu m...