Bab 10. Ta'aruf

542 56 2
                                    

"Ta'aruf?"

Nura terkejut ketika Abah langsung memintanya ta'aruf dengan Dion.

"Abah pikir, Dion adalah pengganti Zain yang tepat. Pikirkan keselamatanmu Nura, dengan banyaknya kegiatan sosial yang kamu lakukan, alangkah baiknya jika ada yang mendampingi, supaya keselamatanmu terjaga."

Nura menunduk dalam, pikirannya kacau. Bukankah diluar sana banyak gadis-gadis yang aktif dalam kegiatan sosial, tapi mereka baik-baik saja. Semua yang menimpanya merupakan sebuah musibah yang sudah dikehendaki Allah. Mungkin ini adalah bentuk alarm agar kedepan
dia bisa lebih berhati-hati. Bukan malah menjadikan menikah sebagai solusinya.

Ingin rasanya dia menjelaskan pada abahnya, perihal takdir, musibah dan hikmah. Tapi itu tak mungkin, karena berdebat dengan abah bukanlah tujuannya.

"Bah, Nura itu baru saja mengalami musibah, kok Abah malah maksa Nura menikah?"

Nura menghela napas. Andai Abah bisa berpikir sejernih uminya. Tentu masalah tak sebesar ini. Pikir gadis itu dalam hati.

Abah terdiam lama. Semenjak kejadian itu, Abah Nura memang banyak berubah. Lelaki itu lebih terlihat sensitif, apalagi bisikan panas ocehan warga kerap berembus tanpa diminta.

Kenyataannya, berita pemerkosaan yang hampir menimpa Nura, menimbulkan dua spekulasi di pandangan warga. Sebagian yang tak suka dengan keluarga itu menyebar fitnah bahkan mengatakan bahwa Nura melakukan perbuatan zina itu atas dasar suka sama suka.

Tapi sebagian yang lain, mencoba membenarkan berita tersebut. Biarpun begitu, tetap saja berita buruk lebih disukai dari pada yang sebenarnya.

"Sudah ya, Bah. Biarkan Nura istikharah dulu. Supaya pilihannya mendapat petunjuk dari Allah," ucap Umi sedikit menenangkan hati Nura yang tengah dilanda gelisah berat.

"Tentu Mi, silahkan saja Nura istikharah tapi tetap sambil diiringi ta'aruf. Nggak ada yang kurang dari Dion, dia adalah pribadi yang bertanggung jawab. Buktinya, dia sudah mulai membangun usaha sendiri tanpa bantuan Pak Nugroho. Selain itu, kemarin saat Abah nggak sengaja satu mesjid dengannya pada pelaksanaan shalat magrib, Abah lihat Dion membarengi rawatib bada magrib. Kurang apalagi itu, Mi. Sudah langka sekali anak muda jenis begini. Abah yakin, Nura pasti akan bahagia jika hidup bersama Dion," kelakar Abah berapi-api.

Nura masih bergeming, tak ingin menambah kegelisahan yang dalat ia baca dari pandangan mata orang tuanya itu.

"Kita doakan saja ya, Bah. Supaya Allah memberikan yang terbaik untuk anak kita. Sudah ya, ayo kita istirahat Bah. Abah katanya tadi sakit kepala, yuk Umi pijitin di kamar."

Nura menghela napas. Kabut yang membalut netranya mulai luruh selepas kepergian abah dan umi. Nyatanya disini, bukan abah saja yang menderita, yanh ia rasakan bahkan lebih perih dari sayatan pisau.

***

Malam semakin beranjak naik, di balik jendela Nura masih betah berlama-lama menatap purnama seumpama lukisan di langit yang penuh taburan bintang. Pada akhirnya, embusan angin dingin malam yang merambat perlahan membuat gadis itu memilih untuk kembali ke ranjang.

Malam ini terhitung tepat sepuluh hari setelah musibah di Kampung Cadas Gantung terjadi. Hingga detik ini, tak ada satupun kabar tentang Zayyan yang sampai padanya. Pun Abah, terlalu sibuk dengan urusan persidangan bersama Pak Nugroho, hingga terlupa untuk menanyakan kabar pemuda yang sudah menolong anaknya tempo hari.

'Bagaimana jika aku yang menghubunginya duluan?' Nura bertanya dalam hati. Tentu saja yang bisa menjawab pertanyaan itu hanya Nura seorang diri. Gadis itu menggeleng cepat.

'Mana boleh perempuan duluan yang menyapa.'

Untuk kesekian kalinya Nura terus menahan keinginan, padahal nama lelaki itu beberapa waktu ini kerap hadir dalam doanya. Nura terus melangitkan doa, agar Allah segera memberi kesehatan buat Zayyan.

Dia yang telah menyelamatkan Nura dari buas nafsu biadap pemuda tak dikenal itu. Dia yang menahan rasa sakit hingga tak sadarkan diri, ketika penjahat kelamin itu menghantam bahunya dengan sebilah kayu besar.

Nura memandang langit-langit kamar setelah merebahkan tubuhnya di ranjang. Bayang-bayang ketika peristiwa itu terjadi kembali berkelebat dalam benaknya.

'Mas Zayyan. Apa kabarmu, Mas?'

***

Pernikahan Nura dan Dion hanya tinggal menghitung hari. Sejujurnya ia ingin istikharah beberapa malam lagi, untuk semakin memantapkan niat.

Tapi keinginan abah benar-benar tak dapat diundur lagi.

"Abah ingin Nura memberi jawaban secepatnya. Sebelum putusan sidang dibacakan, Abah ingin kamu sudah menyandang gelar seorang istri."

Ucapan abah malam kemarin terus menggema di telinga gadis itu. Akhirnya berbekal tiga malam berturut-turut istikharah, Nura menyetujui keinginan abahnya untuk menikah dengan Dion.

Segala keperluan pesta pernikahan Pak Nugroho yang siapkan. Lelaki itu bahkan sengaja menyewa ballroom hotel berbintang sebagai tempat melangsungkan pernikahan putra tunggalnya bersama Nura.

Belum lagi wedding organizer yang di sewa, adalah mereka yang biasa menangani pesta pernikahan para artis. Nura merasa semua ini berlebihan. Tapi tidak untuk Dion dan papanya. Gelar miliarder yang tersemat pada lelaki paruh baya itu menjadikan uang bukanlah sesuatu yang berat untuk dikeluarkan.

Hari ini Dion menjemput untuk fitting baju terakhir. Awalnya umi mau menemani, tapi mendadak membatalkan karena ada keperluan ibu-ibu PKK yang tak bisa dielak.

Alhasil, Nura terpaksa pergi berdua saja dengan Dion. Enggan, tapi Abah meyakinkan Nura, bahwa Dion lelaki bijaksana yang bisa menjaga sikap.

"Nak Dion, Nuranya langsung diantar pulang sehabis fitting baju, ya?'

Pemuda yang tampak parlente dalam balutan kaos hitam dengan jaket kulit itu mengangguk cepat.

"Yuk, kita berangkat," ajaknya pada Nura. Sambil menunduk gadis itu mengikuti langkah sang pengkhitbah menuju mobil.

***

Perjalanan terasa kaku, keduanya tak banyak melempar pertanyaan. Sesekali Dion menawarkan Nura permen, dilain kesempatan ia menawarkan air mineral. Semua dijawab dengan gelengan oleh gadis itu.

"Nura ...."

Akhirnya setelah lima belas menit perjalanan, Dion memberanikan diri melempar pertanyaan serius.

"Iya."

"Boleh nanya sesuatu?"

"Silahkan."

"Jika seseorang pernah berbuat salah padamu dan menyesalinya, serta dia berencana ingin membayar semuanya tapi dengan tidak jujur padamu. Apa kamu akan menerima permintaan maaf orang itu?"

Nura bergidik. Matanya tajam menatap Dion yang kini malah terlihat gugup.

"Tergantung kesalahannya seperti apa," jawab Nura.

Dion menarik napas panjang, ia harus menuntaskan keingintahuannya.

Kenyataan, pelaku pemerkosaan itu adalah dirinya, tapi mana mungkin ia jujur, apalagi setelah indahnya acara pernikahan bersama gadis impiannya itu sudah seperti tabir yang terbuka lebar di depan mata.

"Kalau menyangkut harga diri?"

Nura kembali menatap heran lekaki itu, pertanyaan yang aneh.

"Tetap harus jujur dulu, baru Nura maafkan."

"Kalau dia nggak berani jujur, gimana?"

"Sampai akhirat Nura nggak akan memaafkannya."

Deg!

Dion menelan saliva. Sesuatu terbesit dalam benaknya, 'jika aku jujur, pasti Nura akan membatalkan pernikahan ini. Huh! Mungkin aku akan terus berbohong sampai hari kiamat. Ya, cukup Tuhan saja yang tahu. Aku akan merahasikan semuanya dari calon istriku itu."

Tak lagi bertanya, Dion kembali memfokuskan diri untuk menyetir. Ia tak ingin lagi melempar pertanyaan, karena tahu jawaban yang diberikan Nura hanya akan membuat batinnya tersiksa rasa bersalah.

***

Ya Zauji (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang