"Mae dari mana? Kenapa tampak lelah sekali?" Tanyaku.
"Dari makam kakek. Mae mandi dulu ya"
"Hmm. Segera turun, aku sudah masak pasta kesukaan Mae" kataku lalu dibalas senyuman Mae. Aku meletakkan pasta yang baru saja ku buat ke dalam piring lalu menyajikannya di meja makan seperti biasa.
Oh iya, aku putra tunggal keluarga Ruangroj. Maeku seorang anak tunggal dan menjadi yatim piatu sejak usianya 19 tahun dan Pho ku seorang piatu beberapa saat setelah lahir. Ibu dari Phoku meninggal saat kerusuhan yang terjadi tahun 1970an karna wabah kelaparan waktu itu. Dan saat ini pun, aku telah menjadi seorang yatim sejak beberapa tahun yang lalu. Pho sakit dan dokter bilang kemungkinannya kecil untuk sembuh setelah operasi. Tapi Pho tetap memaksa, Pho sangat ingin sembuh, Pho berjanji akan bangun dan berkumpul lagi dengan kami. Tapi semua itu hanya janji, Pho tidak pernah membuka matanya lagi setelah itu dan hanya tinggal aku dan Mae disini.
Aku memang sudah semester 6, tapi kebanyakan waktuku, kuhabiskan di rumah. Ya, aku ini anak rumahan dan aku tidak keberatan. Entah kenapa rasanya banyak hal bisa kulakukan di rumah, jadi aku lebih memilih menghabiskan waktu di rumah, daripada di luar dan kepanasan tanpa arah dan tujuan yang jelas.
Beberapa saat kemudian, Mae turun dengan pakaian rumah dan wajah yang lebih segar. Mae duduk di hadapanku seperti biasa dan mulai memutar pastanya untuk dimakan.
"Mae, aku ingin tanya" kataku. Mae mendongak dan menatapku.
"Apa semua hantu bisa dilihat?"
Mae menelan pastanya lalu meneguk air dalam gelas yang ada di sebelahnya. Mae menghela nafas.
"Tidak semua bisa Mae lihat begitu saja, Sing. Ada beberapa yang untuk melihanya perlu semacam kekuatan"
"Kalau kakek?"
Mae menyuap pastanya lalu mengendikkan bahu.
" Mae tidak ingin melihat Kakekmu. Mae takut akan rindu dan menangis, jadi Mae tidak berusaha fokus"
" Apa Mae bisa melihat Pho?" Mae mengangguk antusias tapi kemudian wajahnya berubah.
" Hanya sekali. Mae tidak ingin lagi"
"Au, kenapa? Mae tidak senang bertemu Pho?"
"Mae senang, Sing. Sangat senang. Tapi melihat Phomu dengan wajah pucat dan tubuh kurus membuat Mae sedih. Mae merasa tidak bisa menjaga Phomu dengan baik. Bahkan setelah kematiannya, dialah yang menghibur Mae dan menguatkan Mae. Mae merasa bersalah karna dia terus meminta maaf pada Mae" kepala Mae mulai tertunduk. Jarinya yang menggenggam sendok dan garpu memutih dan kulihat sekilas matanya mulai berair.
Aku menyentuh tangan Mae dan mengusapnya lembut. Mae selalu seperti ini. Aku tahu, beliau sangat mencintai Pho, bahkan sampai detik ini pun sering kulihat Mae bicara dengan foto Pho lalu menangis dan tertidur memeluk foto itu.
"Mae, sudah. Bukan salah Mae tidak bisa merawat Pho. Mae merawatnya dengan sangat baik, tapi Tuhan berkehendak lain. Ia ingin supaya Pho tidak terus menderita, jadi Pho diambil dari kita" aku masih mengelua punggung tangan Mae.
Mae mendongak dan menatapku lemah lalu tersenyum tipis.
"Terimakasih, Sing" aku membalas senyuman Mae. Seketika aku tersadar, bukan hal ini yang aku ingin tanyakan.
" Mae. Bukan itu yang ingin Sing tanyakan" kataku agak kelas.
"Au, lalu?" Tanya Mae sambil mengelap air matanya yang sempat menetes.
" Tentang pemilik makam sebelam makam Kakek, apa Mae... Pernah lihat?"
Mae menatapku curiga.
" Kenapa?"
