"Junkyu"
"Jangan marah"
"Aku minta maaf"
"Kapan lagi seorang pangeran akan meminta maaf"
Haruto masih berdiri di depan pintu kamar Junkyu dan mengetuk nya berkali-kali.
Setelah adegan brutal tentang pemaksaan memakan 'kotoran' Junkyu langsung berlari masuk ke dalam kamarnya dan menguncinya. Sebenarnya Haruto bisa saja mendobrak pintunya namun Haruto tahu bahwa Junkyu akan semakin kesal.
"Pergi" lirih. Terlampau lirih untuk Haruto dengar karena biasanya suara Junkyu akan menggebu-gebu.
"Junkyu kumohon jangan begini. Banyak yang harus aku sampaikan"
Junkyu membuka pintunya, "Kenapa harus hari ini? Tiga tahun kemana saja? Buat apa saja? Tiga tahun apakah kurang hanya untuk sekedar bercerita?"
Maka pemandangan Junkyu dengan manik mata yang berkaca-kaca membuat Haruto menjadi kecewa pada dirinya sendiri. Dia telah berhasil menyakiti malaikat penolongnya.
"Aku hanya bingung Itu saja"
"Sekarang coba bilang saja satu hal yang paling penting dari ceritamu."
Haruto terdiam. Junkyu meremas ujung hoodienya dengan erat dibalik pintu , takut akan sesuatu hal yang selalu ia pikirkan—
"Aku harus kembali. Mereka semua menungguku disana."
"Lalu apa yang menahanmu untuk tidak segera kembali kesana?" Junkyu hanya tertawa remeh. Benar kan apa yang selama ini dia takutkan. Junkyu itu tidak pernah takut akan ancaman Haruto yang notabene vampire
Karena hati dan cinta nya sejak awal sudah dijatuhkan kepada sosok pemuda yang sudah ia kenal selama tiga tahun , Watanabe Haruto.
Yang Junkyu takutkan adalah kepergiannya. Karena mau tidak mau suka tidak suka Junkyu dan Haruto itu berbeda.
"Karena aku rasa aku masih punya banyak utang kepadamu , Junkyu. Aku masih belum bisa kembali karena mu"
Haruto perlahan maju mendekati Junkyu dan menggenggam tangan yang lebih kecil darinya.
Junkyu menggeleng "Pergi haruto. Tempatmu bukan disini. Kau lebih dibutuhkan disana. Jangan pikirkan aku lagi."
"Lalu meninggalkanmu saat sedang dalam kondisi begini? Mereka masih bisa menunggu kepulanganku"
"Tapi kapan pun kau akan pergi kau tak akan pernah kembali kan?" Junkyu memberanikan menatap manik mata cokelat yang terkedah berubah menjadi keemasan disaat-saat tertentu.
Haruto yang mendengar pernyataan tersebut hanya bisa diam.
"Tidak ada bedanya kau pergi sekarang atau nanti to. Jadi aku mohon pergi lah"
Haruto menggeleng "Junkyu kumohon"
"Pergi , Haruto! Pergi!" Junkyu menghempaskan tangan Haruto dan mendorongnya keluar. Lalu kembali menutup pintu kamarnya dan menguncinya. Merosok jatuh menyandar dalam daun pintu lalu mencoba menahan tangisan agar tidak terdengar hingga keluar.
Sementara Haruto hanya bisa menghela nafasnya pelan, "Maafkan aku Kim Junkyu. Aku pergi."
Junkyu tahu kepergian Haruto. Sadar dengan sangat. Ia menolak waktu tambahan yang diberikan oleh Haruto sebelum dirinya kembali ke 'rumahnya'. Karena waktu tambahan justru akan membuat dirinya semakin terperosok di jurang rasa sakit yang takkan pernah berakhir.
Junkyu yang saat itu baru berusia lima belas tahun sudah menjatuhkan gelar cinta pertamanya kepada sosok Haruto namun terus ia tolak kenyataannya hingga hari ini karena perbedaan mereka.
Keabadian dan Kefanaan menjadi penghalang diantara mereka.
Saat sebuah bunyi notifikasi email berdering di sudut kamar. Maka Junkyu lantas segera meraih ponselnya dan membuka pesan elektronik yang ia tunggu-tunggu.
Setelah membaca isi dari surat tersebut justru Junkyu terus terisak.
Dirinya diterima di Kedokteran Universitas Seoul.
"Haruto kau harus bangga padaku."
Cukup satu kalimat yang sudah tak mungkin terdengar hingga sampai ke Haruto.
[ Flashback ]
Saat itu masih sama saja saat Junkyu berada di kelas pertama akselerasi di SMA. Masih saja ditempat yang sama favorit mereka berdua —tanpa sadar yaitu kamar Junkyu.
"Aku bosan"
"Katanya mau akselerasi , Baru saja belajar tapi bosan" ejek Haruto.
"Kau hanya makhluk tua yang tidak tau betapa membosankannya pelajaran sekarang."
Haruto mendecak "Ya itu karena di sekolahmu hanya membaca buku dan prakteknya hanya 10% saja , Coba kalau prakteknya diperbanyak"
"Aku masih sekolah menengah , Bodoh!"
"Jangan mengutuk otak pintar ku ini ya Kau kan juga bergantung dari otakku! Dasar lemah biologi!"
"Memangnya masalah?!"
Bertengkar seperti itu terus setiap salah satu dari mereka membuka mulut dan berujung pada keduanya yang akan diam. Mengalihkan ke aktivitas lain dan tunggu saja nanti mereka akan memulai pembicaraan lagi lalu berakhir dengan pertengkaran. Seperti siklus lah intinya.
"Ini aku serius bertanya , Saat kau masih yah 'hidup' apa pekerjaanmu atau aktivitasmu?"
Haruto yang awalnya membaca komik nampak menurunkan komiknya dan lantas menatap jendela kamar Junkyu.
"Dokter. Seratus tahun yang lalu aku adalah seorang dokter. Yah setidaknya itu cita-citaku dari kecil dan aku bisa meraihnya. Tapi jika saja Tuhan memberikan ku waktu lebih untuk menikmati pekerjaan ku lebih lama , Aku akan menyukai hidupku."
"Jadi kau tidak menyukai hidupmu sekarang?"
"Bukankah hidup akan menyenangkan saat mimpi utama mu teraih?"
"Tapi mimpi tidak hanya satu, Haruto. Dan mimpi bisa berubah sesuai dengan apa yang sedang kita alami. Yah seperti itu."
Haruto lantas menoleh "Lalu mimpimu apa?"
Junkyu mengendikkan bahu "Lihat saja setelah masa SMA ku berakhir."
Padahal disitu Junkyu berbohong. Setelah menatap mata kosong Haruto yang menceritakan bagaiamana mimpinya tercapai saat menjadi dokter namun harus berakhir maka saat itulah Junkyu bermimpi.
Jika setidaknya Haruto bisa merasakan mimpinya terwujud sekali lagi lewat dirinya
Semoga Tuhan memberikan waktu yang banyak agar nanti saat dirinya berhasil masuk ke jurusan dokter
Haruto masih berada disampingnya, tersenyum bangga , dan memeluknya erat
Cinta Junkyu memang tak terlihat secara nyata namun bergerak dalam asa
───────────────────────
Don't forget for vote and comen !
───────────────────────Habis nonton TMP malah insekyur sendiri , hartono nangis aja ganteng nya masih melekat lah aq?
see next chapter !─ nenglilis
~Adios !
KAMU SEDANG MEMBACA
EVANESCENT ៸៸ HARUKYU ✔
Fanfic𖥻 just harukyu world ─ homopobic minggat. ─ bahasa semi baku. ﹫. ft ' treasure