•••
Maafkan diri ini, yang lupa untuk bersyukur kepadamu Tuhan.
Note : mulai part ini dan seterusnya memakai pov Sena ya.•••
Sena's Pov.
Pagi yang cerah, suara burung berkicauan diluar sana. Aku bangun dari kasurku, merapikan selimut lalu bergegas ke dapur, untuk membantu bunda menyiapkan sarapan.
"Selamat pagi bunda."
"Pagi sayang, kamu belum mandi kan?"
Aku nyengir. "Hehe, bunda tau aja."
Lalu aku memotong sayuran yang ada di meja."Anak cewek harus anggun dong, masa belum mandi sih? Setidaknya kan cuci muka, sikat gigi. Sana cuci muka dulu." Dan mulailah acara pagi ini, bunda selalu saja bawel, tapi aku sayang.
"Iya ih, bunda bawel banget."
Setelah itu aku melangkahkan kaki ke kamar mandi, tak sengaja aku berpapasan dengan ayah.
Ayah menatapku sinis. "Anak perawan kok pagi belum mandi. Mau jadi apa kamu nanti? Gimana mau cantik kalau mandi aja males."
Hatiku sakit, setega itu ayah memperlakukanku. Meskipun aku bukan anaknya, setidaknya jangan memaki aku seperti itu. Aku juga punya hati.
Aku menghela nafas pelan, lalu pergi mandi. Tak sadar saat memasuki kamar mandi air mataku sudah menetes, dadaku sesak.
Katakanlah aku cengeng, tapi ini aku apa adanya, aku tak berani mengeluh dihadapan bunda, aku tak berani menangis dihadapan bunda. Aku hanya takut bunda ikut bersedih.
Takdir tuhan memang kejam.
Setelah selesai bersiap aku bergegas untuk berangkat sekolah. Aku melihat ayah dan adikku Dewa, ya aku mempunyai adik laki-laki meskipun bukan adik kandung.
Aku dan Dewa hanya terpaut satu tahun, dan kita juga satu sekolah. Jika kalian mengiran kami adalah adik kakak yang akur, kalian salah. Sama seperti cowok lainnya, Dewa juga menilaiku seperti yang lainnya. Sudahlah aku sudah terbiasa.
"Ayah. Aku boleh ikut bareng gak?" Aku mendekati ayahku yang bersiap mengenakan sepatunya.
"Ngapain bareng saya? Memang kemana sepeda kamu?."
"Hem, sepeda aku ban-nya kempes yah." Aku menjawab apa adanya. Jika ban sepedaku tidak kempes mana mungkin aku mau berangkat bersama ayah dan Dewa?
"Cih, cari perhatian banget. Ngomong aja kalo lo mau pamer ke temen-temen lo itu, kalo lo itu sebenernya kakak tiri gue." Itu Dewa yang menjawab, dasar adikku ini sukanya su'udzon.
"Eh, enggak kok. Beneran De lihat aja sepedaku di garasi."
"Sudah-sudah. Kamu fikir saya mau mengantar kamu?" Ayah menatapku.
"A-aku sama Dewa kan satu sekolah yah. Jadi kan b-bisa sekalian." Ucapku terbata-bata, aku sungguh takut sama ayah.
"Seharusnya kamu sadar, siapa kamu dirumah ini. Bersyukur saya sudah mau menanggung biaya hidup kamu. Eh sekarang berani banget nebeng sama saya."
"Mas, udah. Kasian Sena dia juga anak kamu." Bunda yang baru datang langsung membelaku.
"Anak saya? Dia-"
"Sudah ayah bunda. Sena berangkatnya jalan kaki aja." Aku menyela ucapan ayah.
Maaf yah, tapi aku tak mau ayah dan bunda bertengkar hanya karna aku. Aku mencium tangan bunda, saat aku akan mencium tangan ayah, buru-buru ayah pergi menjauhiku.
Tak apa, lagi-lagi aku sudah terbiasa.
Aku melewati gerbang lalu menyapa satpam yang ada di rumahku. "Selamat pagi pak Ucup."
"Pagi non, eh non kok jalan kaki?"
"Sepedanya bocor pak, duluan ya."
Saat di perjalanan, aku mendongak menatap langit. Mendung, langitnya mendung. Sepertinya akan hujan.
Aku mempercepat langkah kakiku, agar tidak kehujanan. Namun aku menemukan cowok yang sepertinya akan menyeberang jalan.
Tapi ada yang aneh, cowok itu membawa sebuah tongkat di tangannya. Satu yang mencuri perhatianku, cowok itu gak bisa melihat?
Ternyata benar, kulihat dia kesulitan untuk menyeberang. Buru-buru aku menghampirinya, lalu membantunya untuk menyebarang.
Cowok ini tampan sekali, meskipun dia tak bisa melihat keindahan dunia lagi.
Dia menatap ke sembarang arah, dengan menggerak-gerakan tongkatnya.
"Siapapun kamu, terimakasih sudah membantuku." Ucapnya ramah.
Astaga, cowok ini soft sekali.
Aku tersenyum menatap matanya. "Sama sama, ngomong-ngomong kamu kok sendirian di jalanan kaya gini?"
"Dirumah sepi jadi bosen. Aku jalan-jalan deh."
"Kamu gak takut? Kan bahaya."
"Gak apa. Aku juga ingin keluar seperti yang lainnya, meskipun dengan keterbatasan fisikku."
Aku menjadi kasihan dengannya.
"Tapi kan sama aja bahaya."
Dia terkekeh singkat. "Memang sudah takdir tuhan untuk mengambil mataku. Tak apa, aku bersyukur setidaknya aku masih bisa hidup dan masih diberi kesempatan untuk memperbaiki dosa-dosa yang selama ini aku perbuat."
Aku tertegun dengan ucapan cowok ini. Aku menertawakan diriku sendiri, apa aku sangat tidak bersyukur?
Lihatkah dia, meskipun dia tak bisa melihat tapi dia masih bersyukur kepada tuhan. Sedangkan aku? Masih sempatnya aku protes tentang fisikku ini, yang jika dibandingkan dengannya sangat jauh berbeda.
Aku yang menurut orang jelek tapi masih bisa melihat dunia.
Sedangkan dia? Tampan sih aku akui. Tapi tuhan sudah mengambil penglihatannya.
Aku melihat jam di pergelangan tanganku, oh tidak aku harus buru-buru ke sekolah.
Aku menepuk pundaknya. "Maaf ya, siapapun nama kamu. Hati-hati di jalan, aku kagum sama cowok kayak kamu. Aku pergi dulu ya."
Aku tak sempat menanyakan namanya, sudahlah mungkin kami bisa bertemu lain kali?
•••
Tbc!
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay with me
Teen FictionHanya cerita fiksi yang mengisahkan seorang gadis yang dipertemukan dengan seorang laki-laki buta. Namun dia menjadi sempurna hanya karena kebaikan dan hati tulusnya. ••• "Semua laki-laki memang sama, brengsek!." Teriak seorang gadis di seberang sun...