Rafka sudah sampai di rumah Adinda. Ia segera memasuki rumah tersebut dengan cepat.
“Den Rafka,” sapa Mang Kosim.
Rafka hanya tersenyum tipis.
“Di panggil Tuan Andra dan Nyonya,” ujar Mang Kosim.
“Apa Dinda mengadu?” batin Rafka.
“Ya. Bunda dan Ayah di mana?” tanya Rafka.
“Den Rafka, mereka sedang menunggu di ruang kerja,” jawab Mang Kosim.
Rafka mengangguk dan langsung menemui Andra. Ia membuka pintu sambil mengucapkan salam.
“Ada apa, Ayah?” tanya Rafka dengan nada setenang mungkin.
Andra menatap Rafka dengan serius. Meskipun terlihat tegas, matanya menyimpan kekhawatiran yang mendalam. “Kamu tahu, anak saya kemarin kehujanan?” tanya Andra, suaranya tegas namun ada nada cemas yang tersembunyi di baliknya.
I… Iya, tahu, Ayah,” jawab Rafka dengan menunduk, merasakan beban di dadanya semakin berat. Ia tahu betul posisi Dinda dalam keluarga ini.
“Kamu tahu dia adalah anak satu-satunya kami?” tanya Andra, suaranya tegas namun mengandung kekhawatiran yang tak dapat disembunyikannya.
Rafka hanya mengangguk perlahan, mencoba memahami situasi yang terjalin.
“Dan kamu tahu Dinda sakit karena kehujanan gara-gara apa?” tanya Andra lagi, wajahnya tampak serius, seolah mencari kepastian dari Rafka.
“I… iy—”
“Karena hal konyol! Karena Dinda menunggu pesanan online,” potong Andra dengan nada frustrasi, tampak tak habis pikir dengan sikap putrinya. Rafka yang mendengar itu hanya bisa mengerutkan kening; kebingungan meliputi hatinya.
“Iya, Rafka. Kami memanggilmu untuk lebih tegas terhadap Dinda. Jangan bersikap seperti anak kecil. Tegur saja dia jika dia tidak menurut,” sambung Delvia, tatapannya penuh harapan, seakan Rafka adalah harapan terakhir untuk merubah sikap Dinda.
“Jadi Dinda tidak mengatakan sebenarnya? Kenapa? Apa dia kasihan?” tanya Rafka dalam hati, masih tak percaya. Lagi-lagi, Dinda berusaha melindungi harga dirinya di hadapan kedua orang tuanya. Itu membuatnya merasa campur aduk antara prihatin dan bingung.
“Iya, Ayah, Bunda,” ucap Rafka, berusaha tersenyum meski senyum itu terasa kaku dan dipaksakan.
“Sekarang Dinda ada di kamar. Kamu boleh menemui dia,” ujar Andra, memberikan izin dengan nada yang menunjukkan harapan agar Rafka dapat berperan sebagai figur yang lebih tegas.
Rafka mengangguk dan melangkah perlahan menuju kamar, sambil berusaha menyiapkan dirinya untuk menghadapi Dinda. Dalam pikirannya, ia masih bertanya-tanya bagaimana ia bisa mengubah sikap Dinda tanpa menyakiti perasaannya.
Rafka mengangguk, tetapi rasa jengkel menyelimuti hatinya. Dia menaiki anak tangga satu per satu. Ia ingin tahu mengapa Dinda tidak jujur padanya. Jika memang bersalah, Rafka tidak ingin dikasihani; dia ingin menghadapi konsekkuensinya.
Ceklek. Suara pintu yang terbuka membuat Rafka tertegun.
Tatapan Rafka langsung membulat sempurna saat melihat pemandangan yang sangat ia benci. Rasanya seperti ditusuk seiris pisau di dadanya. Dia menaik-turunkan dadanya, mengepal tangannya sekuat tenaga saat melihat Ridho duduk di kursi, memegang tangan Dinda dengan lembut. Mereka tertidur berdampingan, seakan dunia ini hanya milik mereka berdua.
"Sial!" umpatnya, rasa sakit yang mendalam membuat bibirnya bergetar.
Tanpa pikir panjang, Rafka langsung membopong Dinda dan membawanya pergi, kepalanya dipenuhi amarah dan kekecewaan. "Awas ya kamu! Sudah ku bilang jauhi Ridho, malah makin dekat!" marah Rafka, suaranya serak. Rasa sakit hatinya tak dapat ditahan; dia merasa seperti seorang pengkhianat ketika melihat sahabatnya memegang tangan Dinda dengan begitu akrab.

KAMU SEDANG MEMBACA
Waktu Yang Salah
Fiksi Umum🚫DiLARANG PLAGIAT! 🚫 JIKA ADA KESAMAAN TOKOH. MOHON MAAF BUKAN DI SENGAJA. Adinda dan Ridho. Dua sahabat yang saling mengerti dalam diam, saling menyimpan rasa tanpa pernah benar-benar berani mengucap. Tapi takdir memaksa mereka mengambil jalan b...