; four ;

3K 428 54
                                    



Doyoung menatap kosong Minhyuk, bosnya yang tengah memberikan instruksi pada para stafnya di depan ruang rapat.

Semua yang dikatakan Minhyuk nyaris dianggap angin lalu oleh Doyoung. Masuk keluar dengan cepat melalui telinganya. Otak Doyoung seolah enggan menerima rangsang suara yang ditangkap oleh saraf pada indera pendengarannya. Karena nyatanya, pikirannya sudah penuh sesak dengan apa yang didengarnya semalam.

Tepat tengah malam, ketika akan mengambil minum di dapur, tanpa sengaja Doyoung melewati kamar adiknya, Renjun.

Pintu kamar Renjun sedikit terbuka, sedangkan lampunya masih menyala -terang benderang. Membuat Doyoung berdecak karena mengira bahwa Renjun tengah memforsir diri untuk melembur skripsinya.

Baru hendak melayangkan teguran, niat Doyoung terhenti karena mendengar suara Ibunya dari kamar Renjun.

"Kau sudah coba membicarakan ini pada Kakakmu belum, Renjun?" Merasa dirinya disebut, Doyoung mencoba menajamkan pendengaran.

Dengan hati-hari Doyoung memasang telinga. Sedangkan tubuhnya diupayakan untuk tidak terlihat dari balik pintu.

"Belum," suara Renjun terdengar. Begitu lirih dan terdengar putus asa.

"Coba kau ceritakan pada Kakakmu dulu, siapa tahu-"

"Kalau kak Doyoung nya sendiri tidak berkenan bagaimana, Bu?!"

Doyoung menggigit bibir bawahnya saat mendegar Renjun meninggikan suaranya. Bukan karena emosi, Doyoung lebih merasa kalau itu adalah ungkapan rasa putus asa yang kelewat parah.

"Kau kan belum mendengarnya langsung dari Doyoung," sahut Yejin menenangkan. "Coba kau cerita padanya kalau Jeno buru-buru melamar agar bisa langsung membawamu ke luar negeri untuk ikut studinya. Mungkin Doyoung akan mengerti."

Ada sesuatu yang mencubit bagian yang berada di tengah dada Doyoung. Bukan di jantung, bukan juga di paru-paru. Suatu tempat yang disebut orang sebagai hati, meski sebenarnya organ itu berada di rongga perut sebelah kanan.

Tanpa sadar, Doyoung menggigit bibir. Tangannya terkepal kuat, hingga kuku yang belum sempat dipotong olehnya melukai kulit telapak tangannya.

Semua pertanyaan yang sejak dulu Doyoung pikirkan terjawab sudah.

Seperti dugaan Doyoung, ada alasan dibalik gencarnya perjodohan yang dilakukan oleh Jeno, selaku kekasih adiknya. Ternyata, semua yang dilakukan Jeno bukanlah suatu bentuk kepedulian pada calon kakak ipar, melainkan satu syarat untuk mencapai tujuannya. Melamar Renjun.

Doyoung merasa bodoh malam itu. Tanpa mendengar lebih lanjut obrolan dari Ibu dan adiknya, dia bergegas kembali ke kamar.

Doyoung bahkan melupakan niatannya untuk mengambil minum. Biarlah rasa dahaga dirasakan oleh Doyoung. Paling tidak, dahaga yang dirasakannya dapat mengaburkan rasa kecewa pada Jeno, Renjun, bahkan kepada Ibunya sendiri.





"Jadi, bagaimana Doyoung?"

Suara Minhyuk menggema dalam ruang rapat memanggil nama Doyoung. Namun, tidak kunjung direspon karena si empunya nama masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Lelaki berkemeja kelabu yang memiliki nama Lee Minhyuk itu pun menghela napas panjang. Merasa diabaikan, akhirnya sentakan keras ia berikan kepada sang bawahan.

"Kim Dongyoung!"


"Iya, saya!"

Entah mengapa, secara otomatis Doyoung mengangkat tangan kanannya seperti seorang siswa yang baru saja ditegur oleh gurunya. Merasa melakukan tindakan spontanitas yang sedikit bodoh, Doyoung buru-buru menarik tangannya kembali. Mata tajam yang biasanya menatap berani siapapun lawan bicaranya meredup.

pretend ¦ jaedo ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang