Kata Mama ada keluarga baru yang huni rumah depan rumahku. Jelas aku seneng banget. Rumah itu dulunya milik Dion, sahabat kecilku. Tapi Dion dan keluarganya udah pindah rumah bertahun-tahun yang lalu. Aku denger-denger mereka beli rumah lagi di Bandung. Aku kesepian sejak kepergian Dion. Nggak ada tetangga lagi yang bisa aku ajak main bareng.
Dan sekarang ada tetangga baru. Semoga aja tetangga baru itu punya anak yang seumuran denganku biar bisa kuajak main.
Mama menyuruhku untuk mengantar kue bronis buatannya ke rumah sebelah. Sengaja bukan Mama sendiri yang mengantarkan, katanya bronis itu sarana untukku mengenal tetangga baru itu. Aku tahu maksud Mama.
Kini aku sudah berada di depan pagar besi yang menjulang tinggi. Pagarnya nggak dikunci, aku menyelonong masuk sembari menenteng box pesanan Mama. Memencet bel di sebelah pintu utama, aku kemudian menunggu seseorang untuk membukakan pintu tersebut.
Tak lama, pintu itu terbuka, memperlihatkan seorang wanita seusia Mamaku, tapi lebih cantik dia. Kulitnya putih bersih, rambutnya berwarna sedikit pirang, wajahnya seperti orang Indo pada umumnya. Aku langsung tersenyum lebar.
"Selamat sore, Tante."
"Sore, cantik." Orang yang kupanggil Tante itu membalasku dengan ramah.
Aku mengulurkan tangan kanan setelah memindah bingkisan yang kubawa ke tangan kiri. "Perkenalkan, saya Lova, anaknya Mama Kiran."
"Oh, anaknya Kiran, tetangga depan itu. Nama saya Lisa. You can call me Tante Lisa." Dia menerima uluran tanganku dengan hangat.
Setelah tautan kami terlepas, aku segera menyerahkan bingkisan di tanganku. "Ini bronis bikinan Mama, katanya buat Tante Lisa."
Tampak wajah senang Tante Lisa saat menerima bingkisan itu. "Wow, thanks, darl. Masuk dulu yuk, kenalan sama anak Tante."
Aku diajak masuk ke rumah besarnya. Rumah itu masih sama seperti yang kukunjungi terakhir kalinya, udah lama sih, sebelum penghuninya yang dulu pergi. Dulu aku sering banget main ke sini buat ketemu sama Dion, jadi aku lumayan hafal letak-letak ruangan di rumah ini.
"Kamu masih sekolah?" tanya Tante Lisa setelah kami duduk di sofa ruang tamu. Box bronis yang tadi kuberi, diletakkan di meja.
"Saya kuliah semester 1, Tante."
"Oh iya, Tante lupa bikinin minum. Bentar ya, Tante ke dapur dulu."
Bersamaan dengan itu, Tante Lisa meninggalkanku sendiri. Aku tak sempat menolak tawarannya. Lagian, aku juga haus.
Sambil menunggu Tante, mataku berkeliling ruangan ini. Sedikit berbeda dari yang dulu, yaitu pada bagian cat ruangan dan foto-foto yang terpajang di dinding. Dulu dindingnya berwarna kuning, sekarang jadi putih. Dulu di dinding yang menghadap ke arahku terdapat foto besar keluarga Dion, tapi sekarang kosong.
"Mom, this room is very narrow for my bedroom. I want to change."
Aku mendengar teriakan dari atas, lalu melihat seseorang menuruni tangga. Dia laki-laki, memakai jeans hitam dan kaus yang senada, kontras dengan kulitnya yang putih pucat. Rambut pendeknya berwarna sedikit kecoklatan. Perawakannya tak asing di mataku.
Saat melihat wajahnya, napasku langsung tercekat saat itu juga.
"Tom ...."
Mata cowok itu jatuh tepat di netraku. Manik abu-abu gelapnya mengingatkanku pada sesuatu di masa lalu. Dia mempercepat langkahnya ke arahku saat tahu bahwa aku akan kabur dari sini.
"Jerry!"
Aku berhasil sampai di pintu, menggedor-gedor pintu besar itu sekuat tenaga. Namun tak kunjung terbuka. Cowok itu semakin mendekat. Aku mulai takut. Tanpa berpikir panjang kutendang pintu yang menghalangi jalanku. Kakiku sakit. Sayangnya pintunya tetap tak terbuka.
Sial.
Karena kegugupanku, aku sampai lupa jika pintu ini ditarik, bukan didorong.
Belum sempat aku menarik gagang pintu, tanganku seperti ada yang mencekal. Dua kali kesialan, cowok itu telah menangkapku!
"I found you again, baby."
"Bangsat, lepasin gue!"
Aku memberontak. Sungguh, aku tak ingin berurusan lagi dengannya. Dia orang di masa lalu yang tak ingin kutemui lagi.
"Nggak. Gue nggak akan lepasin lo untuk kedua kalinya."
"Fuck off! Gue nggak mau ketemu lagi sama lo!" Bahkan aku nggak tanggung-tanggung mengumpat padanya di kali pertama kami bertemu setelah lima tahun lamanya lost contact. Dia itu jahat! Aku benci!
Dia mencengkeram lenganku erat-erat, lalu menyentaknya hingga tanganku terasa sakit. Aku pun diam, menatapnya dengan bengis.
"Lo harus jelasin sesuatu ke gue," katanya dengan serius.
"Sesuatu apa? Gue udah nggak ada hubungan sama lo!"
Dia menaikkan alisnya. "Oh ya? Tapi kita belum putus."
Aku menaikkan dagu, menantangnya. "Oh ya? Kalo gitu, kita putus!" seruku menirukannya.
"Semudah itu lo ngucap putus setelah gantungin gue selama 5 tahun lebih?"
Aku diam, lalu mengendikkan bahu acuh. "Udah jelas kan?" Aku pun berbalik dan ingin pergi, namun lagi-lagi dia menahan lenganku.
"Wait—"
Aku sudah muak! Ketika dia membalik badanku, langsung saja kulayangkan kaki kananku ke arah selakangannya. Dia memekik sakit, kemudian melepaskan tanganku. Tanpa memedulikannya, aku berlari keluar rumah yang seharusnya tidak kumasuki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Mantan! ✔
Roman pour AdolescentsAku sangat membenci keadaan ini. Sean tiba-tiba muncul lagi di hidupku setelah aku mencoba pergi darinya. Lebih parahnya, sekarang mantanku itu berstatus sebagai tetangga! Aku nggak pernah membayangkan kejadian parah ini. Awalnya aku senang dapat te...