Sean

436 35 1
                                    

"Sean, tamu Momma yang duduk di sofa itu kemana ya? Kok nggak ada?"

Gue melihat nyokap dateng dari arah dapur sambil membawa nampan berisi segelas minuman, beliau menghampiri gue yang tengah meringis di depan pintu.

"Kamu kenapa?" tanya saat melihat anak kesayangannya ini kesakitan.

Gue menggeleng. Memegangi selakangan gue yang terasa nyut-nyutan. Bego banget orang tadi nendang aset berharga gue. Kalo sampe cidera, gue bersumpah dia orang pertama yang akan masuk penjara.

"I'm ok."

Momma mengangguk percaya, lalu kembali menatap sofa di tengah ruangan. "Kamu tau cewek yang dateng ke sini tadi?"

Gue menegakkan tubuh, berusaha untuk bersikap b aja. Malu kan di depan nyokap pegang-pegang aset. "Dia udah pulang."

"Pulang? Kok nggak pamit Momma? Padahal Momma lagi buatin dia minuman." Wajah Momma tampak sedih, gue jadi nggak tega.

"Ya udah lah, Mom. Mungkin emang sifat dia yang nggak tau sopan santun."

Momma menghela napas. "Oh iya. Tadi dia ngasih kue ke Momma. Kita cobain yuk."

"Nggak deh, Mom. Sean mau ke kamar dulu, beres-beresnya belum selesai."

Dengan itu gue kembali lagi ke kamar, bukan untuk beres-beres, tapi untuk memikirkan gimana caranya gue bisa ketemu lagi sama cewek yang tadi nendang aset gue.

***

Gue kesel sama nyokap.

Gimana nggak? Beliau meminta gue buat nemenin liburan ke Indonesia. Gue yang udah nyaman-nyamannya tinggal di Amrik, tentu menolak. Tapi nyokap tetep maksa. Katanya, beliau rindu dengan negara kelahirannya. Bokap gue sampe rela mengeluarkan uang segepok buat beli rumah di Indo. Karena rumah yang dulu ditempati Momma, udah dijual. Sayangnya, bokap nggak ikut ke sini karena lagi ngurus sahamnya di negaranya. Dan itu berimbas ke gue, gue diutus untuk menemani istrinya tercinta. Sempet gue mengeluarkan jurus  mengurung diri di kamar karena nggak mau, namun itu nggak mengubah apa pun.

Nggak tau dirinya, Momma ninggalin gue sendirian di sini. Beliau bilang ingin menemui sahabat SMA-nya yang tak jauh dari sini dan gue suruh diem aja di rumah. Padahal gue ke sini karena apa? Tapi ada untungnya sih, gue jadi nggak perlu capek-capek nganter Momma.

Sekarang gue lagi menyender di pagar rumah gue, beli cilok. Sebenernya gue belum pernah nyoba makanan itu. Di Amrik mana ada. Gue yang tadi lagi nyante di halaman rumah, tiba-tiba lihat gerobak berjalan bertuliskan 'CILOK'. Gue pun tertarik karena namanya unik, ya udah akhirnya beli.

Oh ya, jangan heran kenapa gue bisa Bahasa Indonesia. Nyokap gue dulu melahirkan gue di Indonesia, gue sempet berbaur sama masyarakat Indonesia selama 5 tahun. Setelah itu gue pindah ke Amrik. Di Amrik, nggak jarang juga Momma pakai bahasa negara asalnya kalo ngomong sama gue. Jadi gue agak sedikit paham lah.

"Berapa, Pak?"

"5 ribu, Den."

Gue ambil dompet dari saku, lalu mengeluarkan uang berwarna pink dan menyerahkannya pada penjual tadi.

"Duh, nggak ada kembalian, Den. Uangnya bisa yang lebih kecil lagi nggak?"

Gue mengernyit bingung, lalu mengambil lagi uang yang tadi gue serahin. Gue melipat uang itu berulang-ulang hingga jadi persegi yang lebih kecil. Setelah itu gue serahin lagi ke bapak-bapak tukang cilok.

Bapak itu tampak menepuk dahinya sendiri. "Bukan gini, Den Bagos. Maksud bapak itu uang yang pas 5 ribu."

Gue menggaruk kening, siapa itu Den Bagos? Ah, nggak peduli, gue membuka dompet dan menunjukkannya pada bapak penjual. "Saya cuma punya uang ini aja, Pak."

Serius, gue nggak bohong dompet gue isinya uang pink semua. Bapak itu tampak menelan ludah. "Tapi Bapak nggak punya kembaliannya. Gimana dong?"

"Ya udah buat Bapak aja."

"Ah yang bener?"

"Iya, Pak."

Bapak itu tersenyum lebar. "Makasih ya, Den. Bapak doakan semoga pintu rezeki dan jodoh terbuka lebar buat Aden!"

Gue hanya tersenyum menanggapi. Bapak itu kemudian pergi bersama gerobaknya. Gue menatap plastik cilok di tangan, lalu mencobanya. Emm, lumayan enak. Gue suka.

Gue mau masuk kembali ke rumah. Tapi berhenti saat mendengar suara pagar di seberang terbuka. Terdiam sejenak dengan cilok yang tak tau apa-apa, gue melihat seorang cewek dan cowok keluar dari rumah, kemudian menghampiri motor yang terparkir di depan pagar. Seketika bibir gue melengkungkan senyum.

Cewek itu, cewek yang selama ini gue cari. Jerry-ku, yang kemaren nendang selakangan gue. Sebenernya namanya bukan Jerry, tapi Lova. Semasa dekat dengan status pacaran, gue suka panggil dia dengan sebutan Jerry karena lucu, cocok buat dia yang gemes-gemes.

Gue sama Lova pertama kali ketemu waktu di Amrik, dia sekolah middle school atau junior high school sama dengan gue. Kami mulai dekat waktu pertama kali masuk. Terus lama-kelamaan mulai ada rasa, hingga akhirnya gue mutusin buat nembak dia. Kami berpacaran dari JHS. Tentu orang tua gue nggak tau, begitu pun orang tua dia. Ya kalik bocil yang baru masuk JHS udah pacaran. Meskipun negara yang saat itu gue tempati adalah Amrik, yang terkenal bebas. Tapi gue masih mikir-mikir lah. Orang tua gue dan dia itu dari Indo, memegang teguh kebudayaan Indo. Jadi, lebih baik gue sembunyikan aja hubungan gue sama Lova.

Hingga satu tahun kemudian, nggak ada angin, nggak ada hujan, Lova tiba-tiba menghilang. Gue bener-bener kalut waktu itu, padahal malamnya kami masih bertemu. Tapi saat pagi hari, Lova udah nggak berangkat sekolah, begitu juga dengan hari-hari selanjutnya. Udah coba nyari dengan segala cara, tapi tetep aja nihil. Dia menonaktifkan semua media sosialnya, gue jadi susah mencarinya. Gue udah nggak pernah ketemu sama dia.

Tahun-tahun berganti, perlahan gue coba melupakan Lova. Gue trauma ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Maka dari itu gue putuskan buat nggak menjalin hubungan dengan cewek lain. Ya mau gimana lagi, status gue masih menggantung. Lova nggak sekalipun mengucapkan kata putus di antara hubungan kita. Ya sudah, gue coba untuk memahami keadaan. Barang kali, Lova pergi untuk kembali.

Dan benar saja. Sebuah kebetulan tak terduga menimpa gue. Gue dipertemukan kembali dengan Lova di Negara Indo. Mustahil gue percaya, kemarin Lova tiba-tiba ada di depan mata. Gue syok berat, dan gue nggak akan menyia-nyiakan kesempatan itu buat minta kejelasan sama Lova. Kenapa dia tiba-tiba pergi?

Tapi sekarang, gue rasa gue udah tahu alasannya. Bahkan tanpa gue bertanya pada Lova.

Gue lihat dengan mata kepala gue sendiri, Lova yang saat ini tengah berpelukan dengan seorang laki-laki lain. Itu sudah cukup menjawab semua pertanyaan yang gue pendam selama 5 tahun.

"Jadi lo udah punya cowok lain? Bodoh banget ya, gue yang masih mengharapkan lo." Gue tertawa sumbang. Menyedihkan!

Hai, Mantan! ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang