Lova

361 35 0
                                    

Aku melihat orang yang aku benci berdiri di seberang jalan dengan cilok di tangan kanannya, menatapku dengan bibir terkatup rapat. Sekilas, aku menemukan raut kesedihan di wajahnya. Namun aku segera memalingkan mata ke arah lain.

"Pulangnya hati-hati ya, Dev," ucapku pada Deva.

Deva mendekat ke arahku, lalu membawaku ke dalam dekapan hangatnya. Jantungku berpacu karena kedekatan kami ini. Deva itu gebetanku sejak pertama kali masuk SMA. Setelah SMA, kami melanjutkan kuliah di tempat yang sama, dengan status yang masih sama juga, teman. Aku bingung gimana cara mengungkapkan perasaan sukaku ke dia, ya udah mending kupendam aja. Tampaknya, dia juga nggak lebih menganggapku dari seorang teman. Miris.

"Excuse me."

Deva melepas pelukannya karena suara barusan. Aku dan dia sama-sama menoleh pada seorang cowok bule yang telah berdiri di sebalahku. Deva menatap cowok itu dengan penuh tanda tanya, sedangkan aku menatapnya dengan penuh kebencian. Kenapa dia ada di sini sih?!

"Jangan asal peluk, dia udah ada yang punya." Tom berbicara, membuat mataku melotot ke arahnya. Sebenarnya namanya bukan Tom, melainkan Sean. Tapi aku kebiasaan manggil dia Tom.

"Punya?" Deva menatap ke arahku dengan pandangan bertanya. Tampak raut terkejutnya.

"Mine."

Sean tiba-tiba melingkarkan tangan di leherku. Refleks aku menepisnya. "Apaan sih lo! Kita udah putus ya!"

"Tapi lo belum ngasih alasan ke gue, beib."

Sinting!

Bisa-bisanya Sean membahas hubungan kami di depan gebetanku!

"Kayaknya kalian lagi ada masalah yang belum selesai ya? Ya udah kalo gitu gue pergi dulu," ucap Deva membuatku terkejut. "Va, gue pamit ya. Nanti malem nggak jadi jalan-jalan. Gue mendadak ada acara."

Aku terperangah pada Deva yang saat ini sedang menghidupkan motornya. Apakah dia cemburu? Pasti Deva salah paham. "Dev, tunggu!"

Terlambat, Deva dan motornya sudah menjauh. Aku mendesah kesal, menatap cowok di sebelahku yang cengar-cengir tak jelas.

"Puas lo?!"

"Puas kenapa?" tanya Sean yang membuatku naik pitam. Aku memukul dadanya kuat-kuat.

"Kenapa sih lo dateng lagi ke kehidupan gue dan rusak semua yang udah gue bangun?!" teriakku padanya.

Aku sangat membenci keadaan ini. Sean tiba-tiba muncul lagi di hidupku setelah aku mencoba pergi darinya. Lebih parahnya, sekarang mantanku itu berstatus sebagai tetangga! Aku nggak pernah membayangkan kejadian parah ini. Awalnya aku senang dapat tetangga baru, tapi saat tahu tetangga itu adalah Sean, rasanya aku ingin pindah rumah!

Sedikit info, Sean itu mantanku saat di Amrik. Dulu aku sempat bersekolah di sana. Tapi setelah ayah meninggal, aku dan Mama memutuskan kembali ke Indo.

"Karena kita jodoh, Lova."

Mendengar namaku disebut olehnya, entah kenapa hatiku bergetar. Perutku seakan tergelitik. Aku pernah merindukkan namaku disebut oleh dia dengan begitu lembut dan penuh cinta. Dan hari ini, aku tak bisa membohongi diriku lagi. Aku masih mencintainya. Tapi aku membencinya!

"Bullshit! Lo itu brengsek tau nggak! Bisanya cuma mainin perasaan perempuan! Lo pikir lo siapa?! Gue nggak pernah patah hati karena cowok kayak lo!" Aku berteriak kepadanya.

Memangnya dia siapa seenaknya mempermainkanku? Aku masih ingat kelakuan bejatnya dulu saat di Amrik. Dan itu membuatku kembali merasakan luka lama.

"Gue brengsek bagian mananya, Va? Coba lo sebut. Gue nggak tau. Tiba-tiba lo pergi dari gue. Dan untuk pertama kalinya kita ketemu setelah sekian lama, lo malah kayak gini."

Dia berkata dengan lirih yang mana membuatku seperti orang jahat dalam cerita ini. Padahal yang jahat itu dia!

"Gue cuma mau tau alasan kenapa lo pergi. Kalo emang hubungan kita udah nggak bisa diperbaiki, gue nggak papa kok, Va. Yang penting rasa penasaran gue selama ini udah tertuntaskan."

Aku menatapnya dengan kilatan amarah. Wajahnya itu membuatku benci!

Aku memukul dadanya kuat-kuat, berharap dengan begitu emosiku sedikit menguap, tapi sama saja. Dia tampak meringis kesakitan memegangi dadanya bekas pukulanku. Huh, dasar lemah!

"Kenapa lo cium sahabat gue di tengah lapangan?!"

Aku berhasil mengeluarkan beban yang kupendam selama ini. Dia tampak terkejut. Aku tersenyum miring. Lihat, dia tak bisa berkutik.

"Why, Sean?"

Saat itu aku ingin mengajak Sean makan siang. Aku mencarinya di kelas, namun tak ada. Teman kelasnya mengatakan bahwa Sean telah pergi keluar. Pikiranku langsung tertuju ke lapangan, Sean sering bermain ke sana jika suntuk berada di kelas. Tanpa berpikir dua kali, aku berlari ke arah lapangan. Aku tak tahu jika langkah yang kuambil itu salah. Aku malah melihat Sean sedang mencium sahabat perempuanku di tengah lapangan, disaksikan oleh banyak orang lalu diiring tepuk tangan. Saat itu, aku merasa duniaku hancur. Sean menghianatiku.

"It's just a kiss. Di sana udah jadi hal biasa," ujar Sean, terdengar meremehkan. Emang saat itu negara yang kami tempati adalah Amrik, namun aku tak bisa memaklumi kejadian itu.

"Udah biasa? Oh, yang nggak biasa itu cium pacar sendiri?"

Ini yang membuatku sakit. Sean tak pernah menciumku sekalipun, tapi dia mencium orang lain. Ya meskipun aku nggak pernah mengharapkan dia menciumku. Tapi—come on! Bayangkan pacarmu, mencium sahabatmu. Sakit? Yes, that's right!

"Va ...."

"Stop, Sean! Jawaban lo malah buat gue semakin sakit."

Hai, Mantan! ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang