Prolog

118 38 8
                                    

Gadis itu mengerjapkan matanya yang mulai memberat. Suara riuh disekitarnya seakan teredam. Rembulan di atas masih tertangkap oleh matanya meskipun sedikit buram. Bunyi panggilan masuk berdering berulang kali. Tapi ia tak mempedulikan hal itu. Ia hanya ingin menikmati pemandangan yang ada di atas sana. Setidaknya untuk terakhir kali, mungkin.

Gadis itu mengerjap sekali lagi. Kepalanya semakin terasa berat. Bau anyir yang semakin pekat membuatnya mual. Dari dulu ia sangat membenci bau itu. Meskipun sudah beberapa kali berteman dengan bau itu, tapi tetap saja. Ia tidak bisa terbiasa.

Ingatannya terlempar pada masa itu. Dimana semua orang meneriakinya untuk segera mati. Lemparan cacian yang menusuk, hingga pukulan bertubi-tubi yang menyakitkan.

Matanya mulai berkaca-kaca. Entah itu karena bahagia atau rasa sakit yang ia rasakan saat ini. Bahagia, dimana mungkin saja ia akan bertemu dengan kedua orangtuanya. Dimana nantinya akan ia ceritakan segalah keluh kesah yang selama ini ia pendam sendirian. Dan meninggalkan segalah kesakitannya selama ini dalam tubuhnya yang sudah tak bernyawa.

Ia tersenyum tipis. Rasa sakit di sekujur tubuhnya semakin menjadi. Ia lelah, mungkin ini sudah waktunya untuk mengakhiri segalanya yang membuat menderita. Lama-lama iris mata coklat itu tertutup. Bersamaan dengan luruhnya kristal bening dari sudut mata. Ia benar-benar terpejam. Yang jelas, satu hal yang terakhir kali ia tangkap adalah, suara derap langkah yang meneriaki namanya.

***

Ig : @renjanaaa02

HURTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang