Aira sudah diperiksa dokter yang bertugas di UKS. Semuanya baik-baik saja. Ia hanya sedikit stress.
Keenan memperhatikan tubuh ringkih itu datar. Melihat Aira yang mengerjapkan mata beberapa kali, membuatnya mengalihkan pandangan.
"Dasar nyusahin!" Gumamnya.
Tak lama dari itu, Nino datang. Melihat ada Keenan di sana, cowok itu langsung menunduk takut. Keenan memutar bola matanya malas. Ia langsung meninggalkan mereka berdua tanpa sepatah kata pun.
Nino mendekat ke ranjang Aira. "Kak Aira nggak pa-pa?"
Aira mencoba mendudukkan tubuhnya. Nino yang melihatnya ikut membantu. Aira mengembangkan senyum, agar adik kelasnya itu tidak khawatir. "Aku nggak pa-pa No."
Nino cemberut "Kak Aira kalo sakit bilang aku. Awas aja kalo boong."
Aira menggelengkan kepalanya. Kemudian dia terkekeh pelan. "Iya, nanti bilang kamu. Makasih ya No, udah peduli."
"Gimana aku nggak peduli kak. Kak Aira itu orang baik. Aku selalu beruntung bisa kenal sama kakak."
Aira mengangguk, kemudian merentangkan tangannya. "Aku boleh peluk nggak?" Tanyanya dengan nada manja.
Nino membatu, kemudian mengangguk kaku. Ia langsung menyambar Aira kedalam dekapannya.
Dalam pelukan Nino, Aira menitihkan air matanya. Sungguh, rasanya seperti ia mempunyai keluarga. Yang mendekapnya saat sakit. Rasanya sangat luar biasa bahagianya.
Aira melepaskan pelukannya. Ia tersenyum manis ke arah cowok berkacamata itu. "Makasih ya No. Karena kamu, aku jadi ngerasa nggak sendiri lagi."
Senyum tulus. Yang tak pernah ia perlihatkan kepada siapapun. Bahkan orang dibalik pintu pun. Angkasa membalikkan badan, dan berniat untuk kembali ke kelasnya.
***
Sebenarnya ia ingin pulang dan mengistirahatkan tubuhnya yang terasa sakit semua. Tapi apalah daya, ia harus pergi ke tempat kerja. Kalau bukan dirinya sendiri? Lalu siapa yang akan membiayai kebutuhannya. Mengandalkan harta peninggalan orangtuanya? Itu sangat mustahil. Meskipun jumlahnya tidak sedikit, Sarah tidak akan sudi mengasihi dirinya.
Aira memejamkan mata sejenak untuk menetralisir rasa sakit di kepalanya. Ia kemudian menghembuskan nafas. Ia harus segera sehat.
Aira berjalan ke tempat kerjanya. Tidak jauh dari sekolah. Tepatnya di depan halte sekolah. Di sebuah cafe yang sering dikunjungi teman-temannya. Meskipun begitu ia tidak malu. Lagipula kenapa harus malu. Di sini ia bekerja, bukan mencuri.
Aira menganti seragamnya dengan pakaian kerja. Kemudian bersiap mengantarkan minum ke meja-meja pelanggan.
"Ke meja no 08."
Aira mengangguk. Langkahnya terhenti saat melihat siapa orang yang ada di meja itu. Disana ada Angkasa. Juga dua temannya yang lain. Yang sialnya ada Keenan juga. Seketika Aira lupa kalau Keenan dan Angkasa berteman baik.
Aira menarik nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya. Ia harus mengantarkan minuman ini. Kepada siapapun pelanggannya.
Aira berjalan ringan menuju meja itu. Tapi kepalanya yang kembali berdenyut nyeri membuat ia ingin terjatuh dan tak sengaja menumpahkan minumannya ke seragam Keenan. Mata Aira membola, diikuti dengan desisan tajam dari Keenan.
"Lo tuh bisa kerja ngga sih?"
Aira membungkuk meminta maaf. "Maaf, saya nggak sengaja."
Keenan yang merasa familiar dengan suara itu langsung mendongakkan wajah Aira untuk menghadap ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HURT
Teen FictionTentang kehidupan sehari-hari Aira Syefanni, gadis dengan hati setegar karang. Awalnya dia tak punya siapa-siapa di dunia ini. Semua orang membencinya. Tapi kemudian satu persatu datang mengisi ruang kosong dalam hatinya. Saat ia mulai nyaman dan se...