HURT || 1

82 31 10
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tapi gadis itu enggan beranjak dari halte pinggir sekolah. Tatapannya kosong. menerawang jauh kesana.

Satu tepukan di pundaknya sedikit membuat terkejut. Ia menoleh ke samping. Seorang gadis seumuran kakak pertamanya menatapnya dengan tatapan bertanya.

"Kamu nggak pulang?"

Gadis itu enggan menjawab. Ia memalingkan muka. Sedangkan wanita itu tersenyum tipis. "Kamu ada masalah?"

Gadis itu kembali menolehkan wajah. Menatap wajah cantik itu dengan datar. "Kamu kalau ada masalah jangan bengong di sini. Ini udah malem. Bahaya tau. Mending kamu pulang. Orang tua kamu pasti khawatir."

"Aku udah nggak punya orang tua." Balasnya lirih. Seketika wanita dewasa itu merasa bersalah. "Maaf ya. Aku nggak tau."

Cukup lama hening, wanita itu kembali berceloteh. "Nama kamu siapa? Kenalin, nama aku Reka."

Wanita bernama Reka mengulurkan tangannya. Tapi tak digapai sama sekali oleh gadis itu. Ia tersenyum maklum. Mungkin gadis itu benar-benar sedang ada masalah serius.

"Pacar aku udah jemput. Kamu mau aku anter pulang?" Tanyanya bersamaan dengan berhentinya sebuah mobil hitam di hadapannya.

Gadis itu menggeleng.

"Kamu beneran nggak mau di antar? Udah malam banget lho." Reka tetap berusaha. Tapi lagi-lagi gadis itu menggelengkan kepala.

Reka pasrah. Ia kemudian mengeluarkan secarik kertas dari dalam tasnya. "Yaudah kalau kamu nggak mau aku antar. Ini kartu nama aku. Kalo ada apa-apa, atau mau cerita sesuatu, kamu bisa hubungi aku." Katanya seraya menyodorkan kartu nama kepada gadis itu.

Gadis itu hanya menatapnya datar. Tak berniat mengambil. Membuat Reka menghela nafas. Ia meletakkan kertas itu di samping bangku yang didudukinya. Sebelum ia benar-benar pergi, ia membisikkan sesuatu kepadanya. "Jangan ragu buat cerita. Aku nggak ember kok." Katanya diakhiri kekehan.

"Aku duluan ya." Pamitnya kemudian berlalu memasuki mobil.

Gadis itu menatapnya sekilas kemudian membuang nafas. Ia Mengambil kartu nama itu, kemudian beranjak bangkit untuk pulang.

***

Berjalan kaki dari halte samping sekolah sampai rumah ternyata membuat kakinya serasa ingin copot. Apalagi ditemani hawa dingin yang menusuk kulit pucat yang hanya dilapisi kaus pendek itu.

Langkahnya gontai memasuki pekarangan rumah. Rumah besarnya sunyi. Seakan tak ada kehidupan di sana. Semua ruangan sepertinya sudah dimatikan lampunya. Ia bernafas lega. Setidaknya ia tidak perlu bertemu kakaknya yang sekarang menjelma menjadi monster yang mengerikkan.

Gadis itu meraih gagang pintu. Membukanya, dan tidak terkunci. Sekali lagi ia bernafas lega. Setidaknya ia tidak perlu tidur diluar dengan hawa dingin seperti kutub.

Baru beberapa ia melangkahkan kaki untuk menaiki tangga, suara yang berasal dari ruang tamu membuatnya membeku seketika.

"Dari mana aja Lo?" Itu kakaknya-sarah, berdiri sambil memelototinya di balik remang-remang lampu di ruangan.

Gadis itu menunduk tatkala melihat Sarah semakin mendekat. Gadis itu menarik rambutnya keras, sampai si empunya meringis.

"Masih inget jalan pulang? Bikin malu aja. Ngejalang dimana Lo?"

Perkataannya menusuk. Masih sama seperti dua tahun terakhir ini. Semenjak kejadian mengerikkan yang merenggut kedua orangtuanya.

"JAWAB GUE SIALAN!"

HURTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang