KEPONAKANKU DI GANGGU

10 1 0
                                    

Solo, 2012

Sore itu aku dan adikku berkunjung ke rumah mbak Rina, menantu Bibi. Kebetulan aku dan menantunya tersebut memang dekat bahkan sebelum mbak Rina menikah dengan mas Prayoga.

Kunjunganku ke rumahnya bukanlah yang pertama kali, aku termasuk sering main ke sana. Apalagi jika sebelumnya ada masalah dengan bibiku, bisa dipastikan aku akan ke sana untuk sekedar menenangkan pikiran.

Sesampainya di rumah mbak Rina, aku heran karena tumben sekali semua ada di halaman rumah. Selesai memarkirkan motor, kami langsung menghampiri mereka. Ku lihat Acha -anak mbak Rani- terisak dengan mata yang bengkak, seperti sudah berjam-jam menangis.

"Ada apa, mbak? Acha kok nangis?" tanyaku keheranan.

"Iya, dek. Tadi pas Acha main sama Laras -adik mbak Rani- di ruang kelas, tau-tau Acha langsung nangis kenceng banget. Aku tanya ke Laras, dia juga bingung. Biasanya main ke ruangan itu nggak pake acara nangis." jawab mbak Rani dengan nada bingung.

(Orang tua mbak Rani memang bekerja sebagai penjaga sekolah, jadi mereka tinggal di lingkungan sekolah.)

Aku dan adikku yang heran langsung menatap ke arah ruang kelas tersebut. Adikku yang memang peka akan hal-hal diluar logika, langsung mengajakku untuk masuk ke sana. Di temani pak Mardi, ayah mbak Rani. Kami bertiga masuk ke ruang kelas tersebut.

"Oh. Itu kali ya yang dilihat sama Acha." ucap adikku sambil menunjuk ke sudut ruangan dipaling belakang.

Aku yang tidak bisa melihat 'mereka', tentu bingung dengan ucapan adikku. "Apa yang kamu lihat?" tanyaku.

"Nggak jelas juga bentuknya, soalnya sebentar bentuknya pocong, sebentar cuma kabut, sebentar bentuknya jadi perempuan." ucapnya sambil menggaruk kepalanya.

Pak Mardi yang mendengar ucapan adikku mengatakan "Sering anak kelas ini yang tiba-tiba histeris, seperti Acha." Beliau sendiri bingung kenapa makhluk itu ada di ruang kelas ini.

"Padahal cukup ada tante kunti aja ya, pak." ucapku dengan nada bergurau.

"Ada-ada aja kamu. Tapi kalau yang perempuan itu tidak pernah ganggu. Dia cuma diam aja di gudang. Kalau yang ini menganggu. Apa diusir saja ya?" tanyanya pada kami.

Adikku mengangguk setuju, "iya, pak. Dia bikin aura di kelas jadi nggak bagus." ucapnya.

"Iya juga ya. Apalagi sampai bikin anak-anak di kelas histeris." sahutku.

Lalu kami keluar dari kelas tersebut dan berjalan menuju rumah. Sebelum meninggalkan kelas, adikku meminta ijin pada pak Mardi untuk menyalakan seluruh lampu kelas. "Dia nggak suka terang, tapi nggak bakalan bisa keluar juga dari ruang kelas. Soalnya di ruangan lain ada yang nunggu, tapi mereka nggak jahil." ucapnya.

Di rumah, aku meminta mbak Rani untuk menelpon mas Prayoga dan menceritakan apa yang terjadi pada Acha. "Minta mas Yoga buat nutup 'mata' Acha, mbak. Kasihan Acha. Tapi kalo seiring berjalan waktu Acha udah bisa terima, bisa selaras energinya dan nggak histeris lagi kalo lihat yang kaya tadi. Ya nggak apa." ucapku.

Ya, kasihan jika anak seusia Acha yang waktu itu masih berusia satu tahun, jika harus terus menerus melihat dan berinteraksi dengan mereka. Jadi jalan satu-satunya ditutup dulu untuk sementara.

Keesokan harinya, mbak Rani menelponku. "Dek, kata mas Yoga. Kamu sama dek Mel disuruh ke rumah. Mas mau minta tolong katanya." Aku mengiyakan permintaannya dan kami saat itu juga langsung menuju ke sana.

"Minta tolong apa?" tanya adikku.

"Kan kamu sama Mel pernah diajari buat bikin pagar diri, tapi Rani sama Acha nggak bisa. Aku juga nggak bisa bikinin buat mereka." lalu disodorkannya dua botol air mineral pada kami dan tentu kami mengerti maksudnya.

"Minta nama panjang Acha sama mbak Rani ya." ucapku. Setelahnya aku dan adikku memasuki kamar untuk melakukan hal yang harus kami lakukan.

Setelah selesai, aku meminta mbak Rani menggunakan sebagian air untuk mandi untuk mandi dan separuhnya untuk di minum. "Mandi aja kaya biasa, separuh airnya dicampur sama air dibak. Sendiri-sendiri ya bak mandinya. Air yang buat Acha, pas minum boleh kok dicampur sama susunya." jelasku.

"Makasih ya." ucap mas Prayoga.

"Santai aja kali. Sama saudara tuh emang harus saling tolong." balas adikku.

Semenjak itu, Acha memang sudah tidak melihat makhluk dari alam lain lagi. Dia sudah bisa bermain dengan riang, seperti sedia kala.

Bagaimana sekarang saat usia Acha sudah delapan tahun? Masih tetap tidak bisa 'melihat' atau malah terbuka?

Seiring berjalannya waktu, menurut sang ayah. Kemampuan Acha ternyata semakin bikin orang takut. Karena tidak hanya dapat melihat bangsa jin seperti kuntilanak dan kawan-kawannya. Tapi Acha bisa berinteraksi dengan sosok yang jauh lebih diatas mereka.

Benar atau tidaknya aku sendiri juga tidak tahu, karena sekarang kami tidak lagi tinggal di kota yang sama. Semua hanya aku dengar dari penuturan mas Prayoga saat dia berkunjung ke solo.

《TAMAT》

GHOST STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang