Satu

29 5 0
                                    

6 tahun, sudah selama itu kami berteman dan selama itu juga aku memendam perasaanku. Setiap tahunnya aku menguatkan diri untuk mengucapkan apa yang ada dalam hatiku tetapi tak pernah berhasil. Aku tak punya keberanian dan tak pernah punya.

Menjalani hari-hari dengannya sebagai seorang 'teman'. Terlalu tinggi jika aku berharap sahabatku ini peka terhadap perasaanku. Harapan yang hilang ditelan realita, hah lucunya. Beginikah rasanya friendzone?

Apakah terlambat jika kukatakan bahwa aku menyukainya? Kurasa tidak dan ya, entahlah. Selama ini aku mencoba mengatakannya tetapi selalu tertahan diujung tenggorokan yang akhirnya kutelan kembali, seperti sekarang ini.

Lelaki yang sudah 6 tahun bersamaku itu tengah menatapku, menunggu apa yang ingin kukatakan. Matanya berbinar layaknya anak anjing yang menunggu makanannya. Membuatku gemas.

"Jer, aku sebenernya..."

"Bentar Yesh, sebelum kamu ngomong aku mau ngomong sesuatu dulu," Perkataan lelaki yang bernama Jer, atau lebih tepatnya adalah Jere Avgustin itu memotong ucapanku. Nyali yang tadinya sudah kukumpulkan kini menciut kembali.

Dengan senyum canggung seperti biasa aku mengangguk. Mempersilahkan Jere untuk berbicara.

"Jadi, akhirnya aku udah move on sama Cherry!" Jere memekik antusias layaknya seseorang yang menang lotre. Walau Jere adalah seorang lelaki dan aku adalah perempuan tetapi sikap kami seperti tertukar. Jere memiliki sifat narsis, berisik, dan blak-blakan sedangkan aku pendiam, irit bicara, dan tertutup.

Mendengar perkataan Jere yang antusias aku hanya bisa tersenyum kecil dan pura-pura senang atas alasan tidak penting itu walau memang sebenarnya aku sangat senang.

"Kok cepet?" pertanyaan paling jarang yang kutanyakan pada Jere, karena biasanya jika lelaki itu memacari seseorang atau jatuh cinta, ia akan membutuhkan waktu untuk move on tetapi kini hanya perlu 2 minggu.

"Karena... Aku udah suka sama yang baru lagi!" senyuman yang terukir kecil dibibirku perlahan memudar. Suka? Sama yang baru? Are you kidding me?!.

Jadi... Aku gimana... "Kau serius?" aku bertanya dengan nada datar, mencoba sebisa mungkin menyembunyikan perasaan campur aduk ini dan menggantinya dengan ekspresi seperti biasa.

Seperti biasa juga, Jere terkekeh kecil, menganggap pertanyaanku hanya jenis pertanyaan jengkel yang biasa kulontarkan. Padahal aku hanya pura-pura tenang, bisakah lelaki ini peka sedikit?!

"Duarius Yesh," Jere mengangkat 2 jari tangannya.

Aku hanya mengangguk-angguk. Sudah biasa Yeshika, hanya perlu menunggunya putus kemudian mencoba mengungkapkan perasaanku. Lagi. Ya, semudah itu.

Aku terlalu takut mengatakannya dan akhirnya pasti seperti sekarang ini. Kadang aku sangat ingin tertawa dengan sifat pengecut ku. Apa aku harus mengatakannya sekarang sebelum Je-

"Bukan cuma itu," Jere menjeda perkataannya dengan ekspresi serius yang membuatku menelan ludah pelan. "Aku dijodohin sama dia!" mataku membulat, ekspresi terkejut yang tak bisa lagi kututupi. Aku mencoba mencerna perkataanya.

Jere suka sama seseorang dan dia bakal dijodohin? Sama orang yang dia suka!!? Jadi...

Apakah semuanya sudah benar-benar terlambat? Tidak ada lagi kesempatan, aku takut jika aku mengatakannya malah akan membuat hubungan kami menjadi canggung atau bisa juga memburuk. Aku tak ingin mengacaukan perasaannya, dan sepertinya Jere juga tak akan menyesal mengingat ia sangat antusias dengan kabar itu.

Bagian terdalam dari hatiku perlahan retak lalu sedetik setelahnya hancur berkeping-keping. Perasaan ini, perasaan bagaimana rasanya sakit hati.

"Ka!"

"Yeshika!"

"Yeshika Arethina!" aku tersadar dari lamunanku lalu menoleh cepat, Jere memasang ekspresi jengkelnya.

"Eh? Hah? Apaan?"

Kudengar lelaki didepanku berdecak sebal, sepertinya aku melamun tadi.

"Kamu kenapa sih Yesh? Gak biasanya kamu ngelamun gini,"

Kenapa? Ya gara-gara kamu lah! Kalo- "gapapa," kedua sudut bibirku terangkat, menutupi perasaan sedih yang bergejolak dihatiku ini. Selalu seperti itu, tak pernah berubah. Apa yang kuucapkan selalu berbeda dengan apa yang kurasakan.

Jere mengerucutkan bibirnya mendengar jawabanku, seperti biasanya.

"Jer, aku duluan. Baru inget kalo gak boleh keluar lama-lama. Bayarin makananku." dengan cepat aku berlari pergi, menuju halte bus terdekat lalu duduk disana.

Air mata yang sudah lama kutahan akhirnya keluar juga, pertahanan kokoh yang selama ini kubangun runtuh seketika, layaknya susunan kartu yang tertiup angin.

Pengecut! Diriku ini memang pengecut. Kesempatan yang selama ini ada terbuang sia-sia. Tak ada lagi jalan kembali, tak ada lagi kata berhenti, aku terlalu dalam mencintainya hingga tak sadar cinta ini sudah tak berarti lagi.

Penantian panjang yang tak bermakna. Apa artinya semua ini? Seharusnya aku tak pernah menaruh hati padanya. Bodohnya aku mencintai sahabatku sendiri, lebih bodohnya lagi aku tak pernah mengungkapkannya. Sekarang yang tersisa hanyalah penyesalan, aku hanya bisa mengubur impian bodoh yang tak pernah tergapai dan tak pernah ada lagi kesempatan untuk menggapainya.

Semuanya hilang, dalam sekejap. Perasaan sakit yang dalam kurasakan didadaku. Air mata yang tak ingin berhenti, isakan tangis yang tak bisa kutahan. Bisakah waktu diulang kembali? Jika bisa aku ingin mengulangnya dan mengungkapkan perasaanku saat enam tahun lalu. Tapi impian itu harus kukubur juga, ekspektasi tak pernah seindah realita.

Hanya ada satu-satunya jalan yang bisa kuambil. Merelakannya.

\\\

Yuhu! Kali ini aku bawa cerpen buat kalian! Otakku lagi mencoba beristirahat, lagi gak pengen bikin cerita yang panjang-panjang dulu hehe. Jadi stigma sama aeolian ditunda dulu ya...

Semoga kalian suka sama ceritaku~

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian! Vote, komen gratis loh. Tidak dipungut biaya sepeserpun ≧▽≦y

Let You Go [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang