"Lebih baik sama sekali tidak peduli, daripada hanya sekedar merasa kasihan."
_________________
Entah apa yang ada di pikiran seorang Jeno Arthama. Sedari tadi ia terus mengikutiku sampai ke perpustakaan. Ini jam istrahat, kenapa dia tidak pergi saja ke kantin?
Aku sama sekali tidak peduli tentangnya. Hanya saja merasa risih saat ada seseorang yang terus membuntutiku. Aku membiarkan Jeno dengan sibuk mencari buku novel yang akan ku pinjam dari perpustakaan sekolah ini.
Seperti anak ayam yang mengekor pada induknya, Jeno juga ikut mencari-cari buku di bagian rak novel tak jauh dariku. Sesekali aku menolehnya dan ia melihatku dengan tersenyum. Manis memang, tapi aku tidak tertarik.
Setelah cukup lama mencari, mataku tertuju pada sebuah novel berjudul Real Life. Sayangnya tubuhku ini terlalu pendek untuk menjangkau bagian rak dimana buku itu di susun.
Susah payah aku berusaha mengambilnya, namun tetap tak terjangkau. Seperti dirimu yang berusaha menggapai dia namun tak kunjung mendapatkan. Eh...?? Oke, lupakan.
Aku sedikit terkejut saat dari arah belakang sebuah tangan yang kekar mengambil novel itu. Aku menolehnya.
Aku menggerutu dalam hati. Wajah kami sangat dekat. Aku bahkan bisa merasakan hembusan nafasnya. Sedangkan diriku sendiri membeku dan berusaha menahan nafas.
Shit, kenapa harus sedekat ini? Dan kenapa harus dia?
Tersadar. Aku mendorongnya menjauh.
"Yahzan," ucapku.
"Haha, dasar pendek. Ini ...." Dia memberikan buku novel tadi padaku.
Entah bagaimana lelaki ini tiba-tiba saja sudah berada tepat di belakangku. Bukannya yang sedari tadi terus membuntutiku itu Jeno?
Aku melihat ke arah Jeno. Dia terdiam melihatku dan Yahzan. Tak lama ia beranjak pergi tanpa sepatah katapun. Aneh.
"Ekhem ...." Yahzan masih setia menyodorkan novel tadi ke arahku sambil tersenyum. Aku lupa mengambilnya karena melihat Jeno.
"Bagaimana kau ada di sini?" tanyaku setelah mengambil novel dari tangannya.
"Ini perpustakaan sekolah dan aku siswa di sini. Memangnya salah jika aku pergi ke tempat ini?"
Menyebalkan. Aku tak ingin berlama-lama dengan lelaki ini. Kulangkahkan kakiku menuju ke arah penjaga perpustakaan dan mendaftarkan novel ini sebagai buku pinjaman. Baru dua langkah aku beranjak, tanganku sudah dicekal oleh si Playboy tadi.
"Terimakasih," ucapnya.
Shit! Aku tahu itu sindiran.
"Terimakasih... Yahzan Van Augur," ujarku sambil tersenyum sekilas kemudian kembali menampilkan raut wajah datar.
Yahzan menghembuskan nafas berat. "Apa kau tidak lapar, Za?" tanyanya.
"Apa pedulimu?"
"Aku kasihan padamu, kau tidak memiliki satu pun teman di sekolah ini," ucapnya dengan nada kasihan.
Ah, begitu rupanya. "Seharusnya kau tidak perlu berpura-pura peduli jika itu hanya sebatas kasihan. Aku tidak perlu di kasihani!" jawabku dengan kesal kemudian beranjak meninggalkannya. Benar-benar memuakkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
LINE OF DESTINY
Teen Fiction"Hidup itu pilihan. Kenapa aku tidak bisa memilih hidupku sendiri?" - Eyira Nahza "Hidup itu takdir. Jalani saja sampai suatu saat berhenti dengan sendirinya." - Jeno Arthama "Hidup itu kebebasan, jangan mau diperbudak!" - Yahzan Van Augur --- @viyc...