1. Prollog.

254 10 1
                                    


"Jangan terlalu dingin, entar didinginin sama hidup. "



Renjana berhenti sejenak, sedikit mengatur nafas. Berlari sejauh itu ternyata tak asal. "Lelah" ucapnya setelah nafas itu dirasa kembali normal.

" Dasar nuraga aneh. Ngapain pagi pagi ke lahan praktek."

" lo ngikutin gue? mau apa? " jawab sang empunya nama dengan tidak ramah, karena tidak suka dengan kehadiran Renjana.

Renjana duduk, mengimbangi seseorang yang tengah diajaknya bicara. Dia, Nuraga yang sedari tadi dipanggilnya dengan keras, tapi malah berlari dan semakin jauh. " Sorry, gue cuma mau balikin ini" ucap Renjana sembari melempar bungkusan berisi baju olahraga yang baru saja digosoknya.

Nuraga tertawa, melemparkan balik bungkusan itu pada Renjana." jangan lo kira, gue lupa gimana kemaren lo marah marah ke gue di depan umum, saat gue tanya tentang baju gue yang hilang. "

" dih, pendendam. ya, maaf. gue juga ga tau gimana baju lo bisa di tas gue."

" sayangnya baju lo ternyata lebih bagus, gue lebih nyaman makeknya"

" loh ga bisa gitu dong. " jawab Renjana sembari berdiri dan melempar lagi bungkusan itu. " besok bawa baju gue. yang wangi " sambungnya lalu beranjak pergi. Tapi sial, sebuah batu membuat renjana terjatuh. Dan tentunya, Nuraga tertawa puas. Bahkan tanpa berniat untuk membantunya, sama sekali.

" Tempatnya emang gak nyaman. Kotor. Banyak batu penyandung. Tapi gue suka." Ucap Nuraga      tanpa merasa bersalah.

"Suka banget kan ngliat gue jatuh" sahut Renjana kasar setelah duduk kembali dengan           sempurna.

"Haha, ya banget. Coba lo liat kesemua arah, luas. Lo bisa liat langit dengan puas. Bisa liat sekolah kita dengan bebas. Juga pedesaan dengan lepas. Dan yang terpenting, lo bisa teriak apapun disini. Tanpa harus dihakimi. "

Langit sedang biru birunya, hampir tak ada awan yang terlihat. Mentari bahkan baru muncul sedikit sekali dari ufuk timur. Renjana memandang sekitar, tempat yang baru pertama kali didatanginya itu memang agak tak terawat. Lahan itu hanya ditanami rumput disepanjang datarannya. Lebih tepatnya tumbuh sendiri. Sebenarnya itu lahan untuk praktek bercocok tanam sekolah. SMA Cipta Bangsa. Tapi terbengkalai, tak terpakai.

Sedang Nuraga masih dengan sorot mata sendunya yang kian mendalam. Entah masalah genre apa yang tengah dinikmatinya. yang jelas, itu pertama kalinya ia berbicara pada Renjana, siswa yang biasa ia panggil Top Global saat dikelas, atau ia curi buku latihannya saat istirahat, untuk ritual menyontek yang jelas. Nanti buku itu sudah akan kembali dalam tas renjana, saat perempuan itu sudah selesai dari menunaikan solat duha. Ah, nuraga jadi malu kalau ingat bahwa itu adalah pekerjaannya setiap hari.

" Gue kira, manusia manusia yang tengah bermasalah itu butuh teman. Butuh ruang orang lain untuk membantunya, atau sekedar mendengarkannya" jawab Renjana menanggapi laki laki yang hampir sedingin es dikutub utara saat dikelas. laki laki yang kini membuka suaranya dengan cuma cuma pada renjana. untuk pertama kalinya.

" kalo lo dapet ruang itu, lo beruntung. tapi sayangnya gue nggak. makanya gue cari ruang dalam bentuk lain. lahan luas ini contohnya. "

" Tempat duduk kita itu sampingan. Lo bisa kali, cerita ke gue atau minta tolong apapun yang        gue bisa. ya gue harap gitu sih. lagian, lo itu manusia,jangan terlalu dingin ya, entar di          Dinginin sama hidup. "

" makasih.."

Nuraga beranjak. seseorang yang sebenarnya selalu ada didekatnya sudah berlari duluan, bukannya apa. Bel sekolah kencang sekali berbunyi, tentu saja renjana cepat berlari. Tidak mau berurusan seperti nuraga yang sering telat, eh ralat. Nuraga yang setiap hari telat.

UNTUK RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang