"Misandry, penyakit apa itu?" tanya Azka polos. Dokter Ara hanya tersenyum maklum.
"Misandry bukan penyakit, tapi itu sebuah trauma yang terjadi pada seseorang" terang Dokter Ara.
"Misandry adalah dimana seseorang baik secara individu atau kolektif membenci laki-laki. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pria adalah makhluk kasar yang tidak bisa menghargai perasaan wanita" Pak Fath melanjutkan.
"Sudah mengerti Azka?" tanya dokter Ara namun hanya dibalas oleh gelengan kepala Azka.
"Jadi intinya Fatin benci cowok gitu? Tapi, kok bisa dok?"
"Kejadian tidak menyenangkan di masa lalu akan membuat seseorang memiliki trauma. Fatin memiliki kenangan buruk karena laki laki, saya tidak bisa menceritakan semuanya karena itu akan melanggar privasi pasien. Tapi saya mohon jangan melihat Fatin karena masa lalunya yang buruk, lihatlah ia sebagai teman yang baik. Bantu Fatin buat bangkit ya Azka?"
"Saya pasti bantuin Fatin bu dok, niat saya juga tulus berteman dengan dia. Bukan karena kasihan atau apa tapi emang pure nyaman temenan sama Fatin. Walaupun Fatin selalu datar tapi saya tau Fatin orang baik. Cocok buat di jadiin sahabat" Azka berbicara dengan raut wajah sungguh-sungguh. Dokter Ara dan pak Fath yang melihat itu tersenyum kecil.
***
Fatin terbangun, ia melihat sekeliling. Putih dan bau obat, tidak salah ini pasti rumah sakit pikirnya. Fatin meraba kepalanya, rambut hitam panjangnya tidak tertutupi hijab.
'Innalillahi, kerudungku di mana?' batin Fatin.
Tangannya kelabakan mencari kerudung putih yang tadi pagi masih di pakainya. Sekilas ingatan tadi kembali muncul, membuat Fatin kembali menangis histeris. Tanganya menarik narik rambutnya kuat.
Pintu ruangan terbuka, menampilkan seorang dokter perempuan yang langsung berlari menghampiri Fatin yang histeris. Di belakangnya pak Fath dan juga Azka terkejut bukan main melihat keadaan Fatin yang sangat kacau.
Dokter Ara mencoba menenangkan Fatin. "Fatin dengarkan saya, saya dokter Ara. Istigfar.. Fatin tenangkan diri kamu Astagfirullahaladzim... Astagfirullahaladzim. Tarik nafas pelan pelan. Iya bagus seperti itu, ayo tarik nafas lagi."
Fatin menarik nafas seusai arahan dokter Ara. Perlahan dirinya mulai tenang kembali. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Tatapannya menangkap kehadiran sosok laki-laki yang membuat kembali histeris. Kali ini dengan teriak orang ketakutan yang menyuruh pergi seseorang.
Dokter Ara meminta pak Fath memangilkan suster untuk membawa obat bius. Lelaki itu keluar dari ruangan dengan berlari. Azka masih bergeming di tempatnya, bingung hendak melakukan apa.
Tidak lama seorang perawat datang dan memberikan suntikan pada Dokter Ara. Dengan sigap perawat itu memegangi Fatin yang terus memberontak. Sedangkan dokter Ara langsung memasukan obat penenang kedalam jarum suntik. Dia pun memegangi tangan Fatin dan mulai menusukan jarum itu pada lengan Fatin.
Fatin tidak lagi memberontak, dirinya jatuh tertidur karena obat penenang yang masuk ke dalam tubuhnya. Azka yang menyaksikan hal itu sedari tadi hanya diam, Speechless. Dirinya merutuki diri karena merasa tidak berguna hanya berdiri di sana.
"Untuk sementara biarkan ia beristirahat, Fath kamu jangan dulu menemui Fatin. Karena dia akan kembali mengingat traumanya saat melihat laki-laki. Tunggu sampai keadannya Stabil, sebagai gantinya nak Azka yang harus menunggu Fatin. Apa nak Azka keberatan?"
"Enggak dok, saya gak keberatan"
"Kalo begitu saya pamit undur diri, ayo Fath kita keluar" semua yang ada di ruangan itu bergegas keluar, menyisakan Azka dan Fatin yang terbaring tak sadarkan diri.
Azka duduk di samping brankar Fatin, tangannya menggenggam erat jemari Fatin yang terasa sangat dingin.
"Gue gak tau hal apa aja yang udah lo alami sampai bisa kayak gini. Gue yakin itu pasti hal yang menyakitkan banget buat lo. Gue bisa liat ketakutan yang besar dalam mata lo tadi. Maaf gue gak bisa lakuin apa-apa tadi. Tapi, gue janji bakal selalu ada buat lo. Gue bakal temenin lo berjuang buat sembuh Fatin. Gue janji" genggaman tangan Azka semakin mengerat.
Pintu ruangan Fatin seketika terbuka, menimbulkan suara 'Brakk' yang sangat keras. "FATIN!!" Seru si pelaku.
"Astaga!!" Azka terjingkrak kaget. Tubuhnya hampir terjungkal ke belakang jika saja tangannya tidak reflek memegangi besi brankar.
Wanita yang tadi berteriak itu bergegas menghampiri ranjang Fatin dengan raut wajah cemas. Mini koper yang tadi di bawanya, sekarang teronggok di tengah ruangan.
"Ya Allah Fatin kok kamu bisa sampai begini sih" ujar wanita itu memegangi tangan kanan Fatin. Raut wajah khawatir, sedih, dan lelah tergambar jelas dari wanita yang perkiraan berumur 30 tahun itu.
"Permisi tante" ucap Azka bangkit dan berdiri di sebrang wanita itu.
"Aduh, maaf saya gak sadar ada orang. Kamu pasti teman sekolahnya Fatin ya? Kenalin saya windy tantenya Fatin" Windy terkejut dengan kehadiran perempuan berambut panjang di hadapannya ini. Namun, dengan cepat dia menguasai kembali kesadarannya.
"Hehe iya tante saya Azka temannya Fatin" Azka mengulurkan tangannya dan salim kepada Windy.
"Terima kasih banyak ya Azka, sudah bawa Fatin ke rumah sakit. Tante juga berterima kasih kamu sudah mau menjaga Fatin. Oh iya Azka udah makan sayang? Kalo belum kita pesen online aja ya"
"Eh, gak usah tante. Azka udah mau pulang kok, ini juga udah di telpon sama ayah. Terima kasih untuk tawarannya tan" Azka mulai beranjak menuju pintu di ikuti dengan windy di belakangnya
"Yah, sayang banget. Tapi, lain kali janji ya kita makan siang bareng" ucap Windy saat sudah berada di luar ruangan
"Siap tan, bisa di kondisikan hehe .. kalo gitu Azka pamit pulang dulu ya tante. Semoga Fatin cepet sembuh. Assalamualaikum"
"Aamiinn .. waalaikumsalam hati-hati ya sayang" Azka mengangguk lalu melambaikan tangannya kemudian berjalan dan menghilang di belokan koridor.
Windy menghembuskan nafas lelah, dirinya berbalik hendak menutup kembali pintu ruangan sebelum sebuah suara menghentikan pergerakannya.
"Windy" panggil seseorang lirih.
Menurut kalian lebih baik tulisan panjang tapi jarang update atau tulisan pendek tapi sering update?
Stay safe and healthy
Just_astrophile
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Fatin [On Going]
RandomPerlakuan kasar sang ayah yang membuat sifat gadis belasan tahun itu berubah. Wajah yang dulu selalu tersenyum kini menjadi tanpa ekspresi, Seolah dirinya sebuah manekin yang tidak memiliki emosi [AWAL CERITA INI MENGANDUNG BANYAK UMPATAN KASAR. BAG...