martabak manis adalah hal terhebat. hal yang sangat ingin ku kecap kala rindu datang membabat. kala hujan membawa genangan sekaligus kenangan. melempar ku ke masa dimana martabak menjadi obrolan kita.
"aku habis beli martabak manis."
perbincangan remeh yang kini jadi hal paling sendu, paling tidak ingin ku lalu. dibanding mengungkapkan suka yang sudah besar membentang, kita sibuk bergurau—seolah perpisahan bukan tandingan sepadan.
kita sibuk berbincang antara kacang dan coklat. antara keju dan susu. dan foto adalah satu nya jalan dimana jarak jadi pemenang. dan layar dipaksa selalu menyala untuk sebuah tawa virtual. tawa yang kini masih selalu terbayang.
"kalau nanti aku pergi, gimana?"
mungkin aku bakal ikut menghilang, menenggelamkan diri dalam lautan atau menggali lubang besar dan masuk ke dalam. aku tahan kegelapan, tapi tidak dengan kehilangan mu. dan itu akan selalu jadi mimpi buruk hidup yang keras-keras aku hindari.
tapi dibandingkan menjawabnya, aku memilih bungkam. tak kelewat mampu mendefinisikan kehancuran apa yang akan ku lalui, sepatah apa bila itu terjadi. mungkin aku kelewat payah dibanding bocah usia 4 tahun yang sedang belajar membaca.
tapi perpisahan bukan lagi gurauan. dia datang lebih awal. dan sejak hari itu, mengutuk takdir menjadi kesenangan ku. menjadi pelampiasan selain air mata yang tiap malam selalu bercucuran.
kamu selalu jadi hal mesra yang aku gumamkan. yang selalu aku gaungkan pada sepertiga malam.
dan martabak selalu jadi tempat lari ku, jadi pelampiasan ku kala rasa ingin kembali ke euforia dulu. dimana kamu dan aku didalamnya, mati-matian pernah berjuang saling berbahagia.
"Bang, martabak manis keju susu satu."
martabak ku dari adonan kehilangan, dilapisi air mata dan dibakar api rindu.
martabak ku matang.
tapi kali ini, tanpa kamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARA HAWA
Poetrybarang kali, belum melupakan mu adalah hal lumrah. dan aku kini resmi jadi manusia maha resah, maha payah. sebab mengharapkan kembali mu yang entah entah.