jikalau luka adalah teman mendewasakan seharusnya ia tak sebrutal ini. atau setidaknya dia bakal mengucap salam sebagai perkenalan. dan aku yakin buah tangan nya berupa patah-patah dan amarah. yang jelas-jelas meluluh lantah pembulu darah.
ku suguhi tulus satu kardus, ku jamu yakin bergelas-gelas bening, dan bakal ku suruh duduk diantara perasaan yang campur aduk. rindu-rindu ku suruh libur, ku suruh tidur. biar luka punya tempat leluasa, biar tak tersinggung atau berakhir aku tersingkir.
kata luka, kamu lebih dahulu berhenti mencintai. kata ku, yang cacat itu kita, bukan kisah yang melahirkan segudang keluh kesah setelah berbulan-bulan mengandung gundah tanpa arah. bukan, tapi murni kita.
perihal kamu yang lebih dulu berhenti, perihal aku yang kekeh tak mau berhenti. atau mungkin hati lain yang kau ambil, bisa jadi hati ku yang lebih labil. kata mu, aku lah yang kaku. kata ku, kamu lah pelaku. kata mu, kamu benar. kata ku, luka ku paling nanar.
jadi, kita ini apa?
perihal aku yang terus-terusan merindu, menahan sendu dalam segudang resah kalbu. dan kamu, luka yang ku poles buat baik-baik saja. ku paksa bawa lari, berakhir terkilir sebelah kiri.
peduli setan, aku sudah teramat ribut dengan tulus-tulus yang terparut. dan luka tidak lagi melucu, berakhir rasaku yang jadi rancu. lantas patah bukan lagi lelucon, kini aku banjir air mata berton-ton.
bisa jadi, kamu juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARA HAWA
Poesíabarang kali, belum melupakan mu adalah hal lumrah. dan aku kini resmi jadi manusia maha resah, maha payah. sebab mengharapkan kembali mu yang entah entah.