1: Tanpa Nama

903 105 58
                                    

◎◎◎

◎◎


Suasana bandara di terminal kedatangan siang itu cukup ramai dengan hiruk pikuk pengumuman pesawat landing, boarding, dan pengumuman sejenis. Lamat-lamat juga sampai di telinga suara sahut-menyahut jeritan senang ketika bertemu dengan orang yang ditunggu. Semua suara menyatu dan menambah ramainya kondisi bandara. 

Dengan tas punggung yang agak berat satu sosok berjalan mencari kursi untuk ia duduki. Matanya mengedar ke seluruh penjuru. Celakanya hampir semua kursi tunggu penuh.

Berulang kali ia mendesah kesal karena kursi yang seharusnya bisa diduduki malah dipakai untuk menyimpan koper atau tas. Bahkan ada yang dengan seenaknya berbaring dan memakai empat kursi sekaligus. Egois!

Mau tak mau ia berjalan sedikit ke belakang.

Untung masih ada kursi yang bisa ia duduki di bagian ujung dekat jendela besar. Sepertinya deret itu sedikit lengang karena orang malas untuk jalan agak jauh.

Setelah ia menempelkan bokongnya untuk duduk, perutnya berbunyi. Cukup kencang. Bapak tua di sampingnya sampai tersenyum simpul antara menganggap itu lucu dan paham bahwa ia lapar. Bapak tua itu masih dengan senyumnya menyodorkan sebungkus camilan.

Dengan sopan ia tolak. Antara sungkan dan malu.

Memang sial baginya hari ini. Dia begitu terburu-buru mengejar untuk menyelesaikan tugas di kantor sampai ia tak sempat sarapan. Hanya secangkir kopi hangat dari coffee machine yang dia konsumsi hari ini. Tentu itu tak cukup mengingat ia harus segera berpindah tempat untuk menjemput bosnya. Dia yakin betul bahwa bosnya bisa mengamuk kalau-kalau dia telat.

Sebenarnya dia tahu bosnya nanti akan mengajak singgah makan. Tak akan menderita kalau menunggu sedikit lagi. Tapi perutnya tak setuju dengan pemikiran itu.

Ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Jika ia tak salah perhitungan, seharusnya Pak Bos mendarat 30 menit lagi. Waktu yang sangat cukup untuk membeli camilan pengganjal perut.

Dengan membathin harap agar perhitungannya tak salah, sosok kurus tinggi tadi melangkah ke mini market di dekat area tunggu gate barat 2. Ia tak mau mempertaruhkan kemungkinan selisih waktu dengan pesawat bosnya karena memilih gerai makanan yang agak jauh.

Sesampainya di mini market, sosok kurus itu langsung menuju rak makanan. Sempat tergoda untuk membeli ramen instan yang tampak menggiurkan. Tapi, dia begitu malas untuk bersegera menghabiskan kuah panas. Dia lebih memilih makanan yang bisa ia bungkus jika tak habis.

Pilihan pun jatuh pada satu kotak kimbab. Ada beberapa potong kecil kimbab dalam satu kotak. Sekitar lima atau enam. Hanya melihatnya saja sudah cukup mengundang nafsu makan yang bergejolak. Dia memang suka kimbab apalagi yang seperti ini.

Setelah itu dia melangkah ke kasir, meminta kimbabnya dihangatkan.

"Atas nama?" tanya kasir itu.

"Gichan."

Sambil menunggu kimbab dihangatkan, sosok kurus bernama Gichan berjalan menuju rak minuman. Sedikit berselisih jalan dengan seorang pria bongsor yang baru saja mengambil air mineral. Lorong di rak minuman memang lebih sempit dibanding yang lain.

Pria bongsor itu menyingkir sedikit. Mempersilakan Gichan untuk lewat lebih dulu. Gichan berterima kasih untuk itu. Setidaknya masih ada orang yang menjaga sopan santun pikirnya.

Gichan memeriksa rak minuman beberapa kali. Ia mendesah kecewa. Sayang sekali yang ia cari tak ada.

"Apa kimbabnya masih ada?" sayup-sayup percakapan dari meja kasir terdengar ketika Gichan melangkah kembali ke meja kasir.

Where your eyes linger (SooChan)― More Than WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang