◎◎◎
◎◎
◎
Matahari dengan malu-malu menyinari bumi siang itu. Ia seperti betah untuk terus berdekatan dengan awan yang mengumpul dan berarak. Embusan angin sepoi-sepoi membuat suasana sekitar pemakanan cukup teduh. Gundukan tanah yang sudah ditumbuhi rerumputan hijau tampak segar dengan beberapa tangkai bunga di atasnya.
Sedu sedan tangis sesekali sampai. Tapi itu tak membuat Euisoo ikut menangis. Tubuhnya dingin. Pikirannya berkabut dan nalarnya seperti buntu. Ia bergerak hilir mudik—untuk memastikan semua terkontrol dengan baik—seperti mesin otomatis sambil tersenyum. Senyum yang sinarnya tak sampai ke mata. Hanya senyum formalitas yang otomatis terukir ketika bertemu dengan orang-orang yang datang di peringatan satu tahun meninggalnya sang ibu.
Sambil memandang kompleks pemakaman yang memajang berbagai jenis batu nisan ia menarik napas. Setelah itu ia mendesah berat. Tangannya terjulur untuk mengusap wajah. Ia seperti tak bisa membaca apa yang ia rasakan sekarang. Entah lelah entah tenang. Dia tak tahu persis. Yang jelas saat ini dia hampir tak bisa mengenal perasaannya sendiri.
Bunyi perut membuat ia tersadar. Dia ingat kalau dia belum makan dari tadi malam. Sibuk mempersiapkan semuanya; dibantu dengan satu orang teman yang sekaligus rekan kerjanya, Pilhyun. Sambil meringis sedikit karena perutnya mulai meronta, dia melirik ke sekumpulan orang yang tengah berkumpul di makam ibunya—yang juga makam ayahnya.
Ayah dan ibunya memang tumbuh di panti asuhan. Itu pula yang menyebabkan dirinya benar-benar hidup sendiri sekarang. Lebih dari separuh yang datang saat ini pun merupakan teman ayah dan ibunya ketika di panti asuhan. Dan jujurnya Euisoo tak kenal mereka. Namun mereka dengan jelas mengesankan kalau mereka mengenalnya dengan baik. Memang ibunya masih aktif di grup bersama teman-teman pantinya. Mungkin di grup itulah mereka mengenalnya. Bukankah semua orang tua senang bercerita tentang anaknya?
Sungguh! Jika bukan karena janji pada ibunya, mungkin Euisoo sudah menghisap batang nikotin sekarang. Entah kenapa batang nikotin selalu berhasil membuatnya lebih tenang. Walau ia tahu dengan pasti itu buruk untuk kesehatannya.
Ia melangkahkan kaki untuk menghampiri pengunjung yang baru datang sambil tersedu. Dia ingat nenek ini. Beberapa kali nenek ini duduk bersebelahan dengan sang ibu ketika mengambil foto grup. Kalau tidak salah nenek ini adalah salah satu pengurus panti dan sudah dianggap sebagai orang tua bagi ayah dan ibunya. Entahlah, Euisoo juga tak terlalu ingat dengan pasti.
Nenek tadi memeluknya erat sambil menangis. Punggungnya ditepuk-tepuk sebentar lalu tangan kasar si nenek mengelus wajahnya. Dan itu menghasilkan perasaan yang lembut, berbanding terbalik dengan tekstur telapak tangan si nenek.
Si nenek dan beberapa yang juga jadi mendekat terus menyebutkan untuk main ke rumah mereka. Sejujurnya ia ingin menghindar dari kerumunan ini. Tawaran dari mereka memang hangat. Namun lagi-lagi kepalanya sedang tak bisa berpikir dengan baik. Dia bahkan tak ingat ketika mereka menyebutkan daerah perumahan tempat mereka tinggal. Dia hanya membalas dengan senyuman dan mengiyakan seadanya.
Ia butuh pelarian. Ia tak ingin menjadi pusat perhatian seperti sekarang.
Jujur, ia lelah.
=0_0=
Suara tangis bayi seperti sahut-menyahut mengisi lorong rumah sakit. Antara merasa lucu dan berisik, Gichan mengekori timnya. Dia tengah menjenguk salah satu anggota tim yang melahirkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Where your eyes linger (SooChan)― More Than Words
FanfictionBertemu tanpa sengaja di bandara, Gichan dan Euisoo memulai takdir untuk pelan-pelan menjalin rasa secara sederhana dan hangat. =========== ! BxB ! Slice of life, slow paced story ! Where Your Eyes Linger actor ! Very slow up. Sorry T____T ! Inspir...