Aku tidak suka kegaduhan. Saat mencintaimu pun, aku lebih senang melakukannya dalam diam.
* * *
"Malam nanti keluar gak?"
"Liat nanti, ya. Soalnya ada yang butuh gue malam ini."
Samuel yang tengah menenggak tegukan terakhir dari kaleng soda nyaris memicingkan mata. Dia melepaskan benda itu dari bibir lalu meletakkan di atas meja. "Flower yang butuh lo malam ini?"
Lion melirik sekilas sebelum disibukkan dengan bakso berkuah yang beberapa saat tadi dipesankan Samuel pada stan Mbak Ika. "Siapa lagi?" Lion balik bertanya, membuat Samuel menganggukkan kepala lalu kembali berkata, "Ada tugas yang harus dikumpulin besok. Jadi, malam ini, dia minta gue buat tolongin dia."
"Gitu, ya," gumam Samuel yang tak lagi ditanggapi oleh Lion.
Ia menyapukan pandangan ke seluruh sudut kantin yang semakin ramai. Sebagian banyak dari mereka tampak menyantap makan siang. Sebagiannya lagi ada yang mengobrol untuk sekadar bersantai ria. Dari arah pintu masuk, Samuel menemukan seorang gadis yang sejak tadi dicari keberadaannya. Ketika matanya telah memastikan gadis itu baik-baik saja, ia pun tersenyum bahagia.
"Boleh gue nanya sesuatu?"
Lion baru saja menghabiskan bakso berkuah ketika Samuel kembali bertanya. "Tanya aja."
"Sampai kapan lo betah mencintai Flower dalam diam?"
Alis kanan Lion melambung, cukup heran dengan pertanyaan yang Samuel lontarkan. "Coba lo ulang sekali lagi?"
Samuel tertawa entah karena apa. Demi ekspresi kebingungan yang Lion tunjukkan, dengan senang hati dirinya membuat Lion semakin terjebak dalam rasa penasaran. Namun, Samuel tidak sejahat itu orangnya. Dia baik. Buktinya siang ini, dia mau saja mentraktir Lion satu mangkuk bakso berkuah buatannya Mbak Ika.
"Seinget gue lo gak sebudek ini, deh. Gue yakin betul kalau kedua telinga lo masih berfungsi dengan baik."
"Atas dasar apa lo ngomong kayak gitu?"
"Ayolah, Lion. Gue tau tentang cerita ini. Lo suka sama Flower, 'kan?" Samuel kembali mengambil kaleng soda miliknya dari atas meja. Menggoyangkannya sebentar dan akhirnya sadar jika isinya telah dihabiskan. "Gue salut sama lo. Lo mampu bertahan selama ini hanya karena cinta. Kenapa gak diakuin aja, sih? Toh, gue yakin Flower akan susah juga nolak lo buat jadi pacarnya."
"Ini bukan urusan lo." Lion berdiri setelah mengeluarkan desisan halus mengerikan. Sementara itu, tangannya sibuk menyampirkan tas hitam pada bahu kanan di saat Samuel malah lebih tertarik menatap gadis yang tengah berjalan ke arah mereka. Dia tersenyum, merasa tenang hanya karena menatap paras indah yang sedari dulu dikagumi olehnya.
"Lo itu pengecut. Lo takut kalah bahkan sebelum berperang. Saat lo masih bisa berdiri di depan, kenapa harus memilih barisan belakang? Lo bisa berlari dan berjuang, tapi kenapa malah terkekang dan membuat lo mati di tempat?"
"Hentikan omong kosong itu, Sam. Lo gak tau apa-apa tentang hal ini. Biar ini jadi urusan gue. Lo gak perlu ambil pusing tentang langkah apa yang harus gue ambil."
Detik berikutnya, Samuel juga memutuskan untuk ikut berdiri. Dia juga mengambil tas lalu menyampirkan pada bahu kanan. Setelah menepuk pundak Lion dua kali, dia berkata pada telinga sahabatnya. "Gue cuma mau ingetin satu hal sama lo. Hati-hati saja. Karena kalau lo masih betah diam di tempat, gue yakin bakalan ada orang lain yang dengan gerak cepat berlari ke arahnya. Dan, saat itu terjadi, lo udah gak bisa ngapa-ngapain lagi."
Seperti dugaan Samuel, Lion benar-benar kehilangan kata untuk menjawabnya. Laki-laki itu bergeming, berusaha mencerna setiap hurufnya. Namun, ketika Lion hendak membuka suara, ia dikagetkan karena Samuel tiba-tiba menghilang dari hadapannya. Dari tempatnya berdiri, Lion menemukannya sedang berjalan ke sebuah arah, menghampiri Flower yang saat itu tengah berjalan ke arahnya.
* * *
"Mas Genta itu penyuka bunga euphorbia. Buat dia, bunga euphorbia adalah lambang dari keberuntungan dan kebahagiaan."
Itu adalah kalimat pertama yang Lion dengar saat mobinya bergabung di jalan raya. Dengan wajah ceria, Flower kembali bercerita, "Setiap kali novel yang ditulisnya dipinang penerbit favorit, dia pasti bakalan langsung datengin aku dengan banyak banget bunga euphorbia."
Lion melirik sekilas ke arah Flower yang tidak menatapnya. Pandangan gadis itu bertahan ke arah luar, pada jalan raya dan asap knalpot dari berbagai kendaraan. Dalam hati Lion bertanya, apakah butiran debu yang berterbangan terlihat jauh lebih menarik daripada dirinya?
Refleks kesepuluh jemarinya meremas stir kuat-kuat ketika kenyataan menjawab bahwa saat menceritakan Genta, Flower tak mau lagi memandanginya.
"Waktu itu, euphorbia masih biasa-biasa aja. Tapi, ketika dia pergi, aku baru sadar kalau semua euphorbia yang dia letakkan di depan jendela kamarku itu memberikan banyak kenangan. Mulai hari itu, aku menyadari telah mencintai euphorbia dengan sama dalamnya seperti aku mencintai Mas Genta."
Flower menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan dalam satu dorongan. Pada detik kesekian, ia mengarahkan matanya untuk menatap Lion yang tidak menjawab sepatah kata. Ini adalah sore kesekian saat Flower mengulang-ngulang tentang topik yang sama; Genta dan euphorbia. Akan tetapi, hanya pada sore inilah dia disadarkan oleh perubahan drastis pada Lion.
Dari arah samping, dia menemukan gurat wajah Lion berubah keras. Tepat di balik kulit pada pelipis sebelah kiri, beberapa urat halus bermunculan. Apa yang terjadi? Lion tidak sedang baik-baik saja?
"Kamu udah bosan, ya, tiap hari dengerin aku ngomongin soal Mas Genta? Maaf banget, ya. Soalnya kalau bukan sama kamu, aku gak tau harus ngadu rindu ini ke siapa."
Saat itu, ada sesuatu yang terasa aneh dan mencubit hati Lion tepat di bagian intinya. Ia tersentak, menatap Flower yang lebih dulu memandangnya. Untuk saat ini setidaknya Lion tahu, tak selamanya segelintir debu membawa pandangan Flower jauh darinya. Dengan susah payah, dia menarik napas yang sempat tertahan. Untuk kali kesekian, Flower tidak pernah tahu tentang keadaan hatinya yang dibuat hancur berantakan.
"Kalau itu bisa mengurangi rindu ke Genta, ya, udah cerita aja. Aku siap dengerin semuanya."
Mobil yang dikendarai Lion berhenti di depan toko AyuAnna Florist. Sambil melepaskan sabuk pengaman, Flower mengucapkan terima kasih yang dibalas dengan anggukan. Tak langsung turun, dirinya malah merasa nyaman saat berdekatan dengan Lion bahkan dalam waktu yang lama. Dia tersenyum senang yang kemudian membuat Lion mengangkat alis sebelah kanan.
"Kenapa senyum-senyum gitu, sih?"
"Pengen aja. Gak boleh emang?" Flower balik bertanya sementara Lion mendengkus dan menatap lurus ke jalan. "Aku tau ada sesuatu yang terjadi sama kamu. Entah itu pada perasaanmu, atau pun pada keadaan hatimu. Sengaja aku enggak bertanya kamu itu kenapa. Karena jawabannya pasti 'aku gapapa', atau 'aku baik-baik aja'."
Lion mendengarkan lalu merasakan sentuhan ringan ketika Flower mengambil sebelah tangannya untuk ia genggam. Seraya membalas cengkeraman dengan sama erat, Lion bertanya pelan, "Semua bakalan baik-baik aja, kan, Flow? Gak bakalan ada yang berubah, kan, di antara kita?"
Gadis manis dengan rambut panjang tergerai itu tersenyum indah. Dengan gerakan yang sangat lembut, ia menarik kepala Lion lalu membawanya untuk jatuh ke dalam dekapan. "Pasti, Lion. Semua pasti bakalan baik-baik aja. Apa pun yang terjadi nanti, cukup satu hal yang harus kamu tau. Aku ... selalu menyayangimu."
Bukannya reda, sakit di hati Lion malah terasa semakin nyata. Ia menatap Flower dengan penuh luka saat gadis itu tersenyum sambil menata rambutnya agar semakin rapi.
Sore itu, Lion kembali tenggelam dalam pusaran perasaan. Pertahannya hancur, patah dan remuk secara bersamaan. Entah kalimat seperti apa yang harus ia ucapkan. Karena sejatinya, sayang yang Flower ucapkan hanya sebatas hubungan persahabatan. Sementara di sini, Lion memberikan sesuatu lebih dari yang gadis itu harapkan.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
20.12
عاطفيةKatanya, euphorbia adalah lambang keberuntungan. Ketika Flower memutuskan untuk merawatnya, dia berharap keberuntungan itu benar-benar nyata. Harapannya tidak banyak, semoga Tuhan menghapus hari keduapuluh pada bulan Desember dalam hidupnya. Lantas...