19. Anak Kecil yang Ketakutan

30 7 0
                                    

Aku tidak sedang berbicara tentang siapa yang paling diinginkan. Akan tetapi, saat ini aku sedang berbicara tentang keberuntungan terbesar.

* * *

"Saga di sini dulu, ya. Jangan ke mana-mana. Jangan teriak ataupun bersuara sedikit pun. Tetap diam dan tenang. Okay?"

"Memangnya Mama mau ke mana? Dan, kenapa Saga harus dikunci di lemari ini?"

Wanita yang dipanggil Mama oleh anak laki-laki berusia sepuluh tahun pun tampak meneteskan air mata. Dengan gerak cepat, Diana mengusap pipi hingga tetes bening itu menghilang untuk sesaat. Setidaknya, ia harus terlihat tenang walaupun kesepuluh jemarinya resmi bergetar. Diana menarik napas lalu memejamkan mata untuk kemudian mengulas sebuah senyuman yang tak terlalu lebar. "Mama ke bawah bentar. Mau tolongin Papa Saga harus janji untuk tetap diam di sini. Bisa?"

Ingin rasanya Sagara menggeleng dan langsung melompat ke luar. Ingin rasanya ia membantah hanya agar dirinya bisa lari dan turun ke bawah lalu ikut menolong sang ayah yang beberapa saat tadi terlihat ditodong pistol oleh tiga pria berpakaian hitam. Akan tetapi, Sagara tak kuasa membantah ketika sang ibu memperlihatkan tatapan memohon untuknya. "Mama, Saga takut ...." Sagara berucap lirih lalu disusul oleh tangis yang tersedu-sedu. Anak kecil mana yang rela melihat sang ayah disiksa dan dipukuli dengan kejam, sementara dia hanya bisa meringkuk sendirian di lemari dalam kamar ini?

Dor!

Suara tembakan menggelegar dari ruang bawah lalu disusul pula oleh erangan keras dari mulut sang ayah. Sagara yang mendengar suara itu hampir berteriak jika saja Diana tidak segera membekap mulutnya dengan kuat. Kali ini, wajah Diana benar-benar berubah serius, menegang. Seiring dengan keringat yang mulai bercucuran dari sekitaran area pelipisnya, wanita itu lantas menatap Sagara hanya untuk berkata, "Jangan ke mana-mana. Tetap di sini sampai Mama kembali datang. Bahkan jikalaupun hari ini Mama harus ikut pergi bersama Papa, Mama ingin agar Saga tetap baik-baik saja."

Sagara tak bisa berkata-kata lagi selain menganggukkan kepalanya dengan susah payah. Ia terdiam bahkan saat wajah sang ibu mendekat dan mencium seluruh mukanya dengan gemetar lalu memeluk tubuh mungilnya dengan erat, Sagara hanya bisa menggigit bibir untuk meredam tangis. Singkatnya, Lion Sagara──anak kecil yang berumur sepuluh tahun──itu benar-benar menuruti permintaan ibunya.

Usai mengucapkan kalimat, 'Mama sayang Saga', wanita itu langsung menutup lemari dan menguncinya. Dari celah-celah sempit, Sagara bisa melihat sang ibu berjalan tergopoh-gopoh ke arah nakas untuk kemudian mengeluarkan sesuatu dari sana. Sontak kedua mata Sagara membola saat tahu sang ibu memegang pistol yang diambil dari dalam sana. Dan, sebelum memutuskan untuk meninggalkan kamar, Sagara mendapati ibunya menoleh dan tersenyum tipis ke arahnya.

Brak!

Pintu kamar ditendang dari luar, membuat Diana berteriak dengan suara tertahan dan lantas memandang ke depan. Pandangan Sagara pun ikut terarah depan. Tepat di ambang pintu, ia menemukan seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan dua kancing kemeja atasnya terbuka dan memperlihatkan tato naga di sekitaran dadanya. Sagara meringis seraya membatin bahwa itu adalah pria yang sama yang beberapa waktu tadi menodongkan pistol ke arah papanya.

"Suamimu sudah mati. Sekarang, ikut bersama kami. Kamu harus menjadi tebusan atas semua hutang-hutang suamimu."

"Ambil rumah ini kalau kamu mau, Ary. Dan, bilang kepada bosmu, dia tidak berhak atasku."

"Sialan!" Pria yang tidak menyadari bahwa Saga ada di dalam lemari terdengar berkata kasar. Ia mendekat lalu dengan mudah merampas pistol dari tangan Diana untuk kemudian dilemparkan ke sembarang arah. Hampir saja Sagara berteriak sewaktu benda tersebut terpental pada pintu lemari yang saat ini masih menjadi tempat persembunyiannya. "Jangan membantah atau kamu akan mati! Ikut denganku dan jadilah tebusan atas semua hutang suamimu itu!"

20.12 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang